Wednesday, January 7, 2015

Semendo

Negeri Elok dari Bukit Barisan

haiiii....kawan kawan blogger dan netizen sekalian, sudah lama rasanya jari ini tidak menari diatas keyboard laptop untuk mengurai kata menjadi kalimat-kalimat yang sambung menyambung menjadi rangkaian cerita, kali ini setelah sekian lama kehilangan mood untuk menulis aku akan bercerita kisah perjalanan pulang ke kampungku di akhir tahun 2014, cerita seperti ini pernah aku tulis pada judul Pulang Kampung, okelah...kawan, aku akan mulai cerita ini dari mana ya?...
ahhhh.... begini saja, pada liburan di akhir tahun 2013 saya bersama keluarga berlibur ke seputaran Jawa Barat yaitu, Wisata Air Panas Darajat, Garut-Ciwidey (Kawah Putih dan Situ Patenggang)-Gunung Tangkuban Perahu (gagal karena kemalaman hehehe...maklum terlena sama suasana Kota Bandung), sambil pulang ke Jakarta kami merencanakan liburan di akhir tahun 2014 ke Jogja, tapi sayangnya liburan ke Jogja terpaksa dibatalkan karena beberapa hal kemudian dirubah ke Semendo alias pulang kampung hehehehe....
perjalanan ke Semendo dirancang dengan  beberapa kali pemberhentian yaitu di Bandar Lampung (mampir ke sodara yang punya bengkel Body Painting Autoloma, numpang makan dan istirahat sebentar) dan Bukit Kemuning (janji ketemuan sama adek dan nyokap yang dari Palembang) baru setelah itu lanjut ke Semendo.

singkat cerita sampailah kami ke Semendo, tepatnya Desa Muara Tenang, Kecamatan Semendo Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, hal pertama yang saya nikmati adalah pemandangan alam dan hawanya yang segar, sambil santai saya jalan jalan ke kambang yaitu tempat pemandian umum bagi masyarakat setempat khususnya yang belum memiliki kamar mandi di dalam rumah. uniknya kambang ini yaitu, sumber mata airnya yang berasal dari mata air yang sudah di pagar hingga membentuk kolam mata air, kemudian air kolam tersebut dialirkan melalui pancuran-pancuran langsung ke "kambang betine" (tempat pemandian umum khusus wanita), "kambang bugagh" (tempat pemandian khusus laki-laki) dan ke mesjid untuk air wudhu.

Mata Air

Mesjid di Sisi Kanan Mata Air

 Kambang Betine ada di depan













Kambang Bugagh
 

 Tebat Mandian

hal unik lainnya adalah bahwa di desa ini masih ada pasar yang digelar seminggu sekali disebut "kalangan" didesa muara tenang ini kalangannya adalah kalangan jumat, artinya pasar itu hanya digelar pada hari jumat, mulai dari habis subuh hingga menjelang jumatan, ahhh tapi baiknya biar gambar saja yang berbicara ya...sudah tidak sanggup jari ini menuliskan apa yang ada dikepala hehehehe... oh iya kebetulan di desa ini kalo kata nining (kakek/nenek) saya pada bulan Desember ini musim paceklik artinya kalangan sepi tidak serame kalangan pada musim panen yang biasanya pada bulan Juni hingga Agustus, masyarakat disini mayoritas pencaharianya adalah bertani disawah dan berkebun kopi, nahhhh.... kalo pas datang musim panen wuahhhh....ramenya... apalagi kalau bebarengan dengan libur sekolah.


suasana  kalangan




































 ini rumah kami hehehe...

selepas jumatan kami berjalan jalan ke hulu dusun, naik ke desa yang paling tinggi di dataran bukit barisan Semendo, ke Desa Segamit, Kecamatan Semendo Darat Ulu, desa ini penghasil buah markisa, tadinya kami berharap menemukan pedagang markisa, namun kami harus kecewa karena pada saat kami datang belum musim markisa, tapi kami tetap senang karena bisa menikmati pemandangan yang begitu mempesona dari ketinggian bukit barisan.







keesokan harinya kami berniat mengunjungi kebun kopi di daerah Betungan.

perjalanan ke Betungan















Pemandangan dan suasana kebun kopi  di Betungan















tak terasa sudah tiga malam kami di Semendo, kami pun harus bersiap untuk kembali ke Jakarta, namun jalan jalan belum usai...





di perjalanan nemu pedagang duren, oh iya duren disini sangat enak dan murah 10ribu sampai 15ribuan 






Air Terjun Bedegung













demikianlah kawan....untuk sementara ini dulu yang bisa aku ceritakan, sampai ketemu pada ceritaku berikutnya. salam

1 comment:

Unknown said...

Kalangan Pulau Panggung itu nyelah