Wednesday, October 8, 2014

PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM DAGANG INTERNASIONAL



Perkembangan dunia perdagangan internasional saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Negara sebagai salah satu aktor utama dalam perdagangan internasional telah menyepakati sebuah mekanisme atau aturan perdagangan yang dapat lancar dan efektif dan bersifat global atau lintas negara, muncullah ide untuk membentuk aturan dalam bidang perdagangan internasional yang berlaku secara global. Salah satu aturan yang diterapkan adalah sistem free trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas akan bekerja lebih efektif dan menguntungkan melalui pengurangan hingga penghilangan hambatan-hambatan berupa tarif dan non tarif. Pemikiran ini disetujui oleh negara-negara pada saat itu dan dituangkan dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. GATT merupakan sebuah instrumen hukum sekaligus sebuah lembaga semu dalam mengatur perdagangan internasional dengan tujuan menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan internasional. Hingga pada tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi nyata dalam perdagangan internasional yang dinamakan World Trade Organization (WTO).[1]
Transaksi perdagangan internasional menimbulkan potensi sengketa dagang apabila salah satu pihak melakukan wan prestasi atau tidak melaksanakan penuh kewajibannya sebagaimana isi perjanjian yang telah dibuat sehingga memerlukan upaya, mekanisme dan aturan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
Transaksi perdagangan internasional yang berpotensi menimbulkan sengketa perdagangan internasional  membutuhkan suatu mekanisme penyelesaian yang disepakati akan digunakan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, oleh karena itu permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana bentuk penyelesaian sengketa perdagangan internasional dilakukan?

A.   World Trade Organization (WTO
WTO (World Trade Organization) merupakan sebuah organisasi perdagangan internasional yang didirikan pada tahun 1994. WTO bertujuan untuk mengatur sistem perdagangan dunia. Sebelum WTO terbentuk, sebuah perjanjian mengenai tarif dan perdagangan sudah terbentuk pada tahun 1947 yang disebut dengan GATT (General Agremeents on Tariffs and Trade). GATT merupakan cikal bakal lahirnya WTO. Pada dasarnya GATT memberikan dua pengaturan dasar dalam rezim perdagangan internasional, yaitu:[2]
1.   Membuat ketentuan-ketentuan untuk merendahkan dan menghapuskan tarif, dan
2.   Membuat kewajiban untuk mencegah atau menghapuskan jenis-jenis hambatan dan rintangan terhadap perdangangan (non-tariff barriers).
Seiring perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa putaran negosiasi (round of negotiations). Pada tahap Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang berlangsung pada tahun 1986-1993, diputuskan bahwa perlu dibuat sebuah lembaga yang mengatur sistem perdagangan multilateral, sehingga pada tahun 1994 lahirlah WTO.[3] Struktur dari WTO terdiri dari: The Ministerial Conference, The General Council, The Trade Policy Review Body, The Dispute Settlement Body, The Councils on Trade in Goods and Trade in Services dan The Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights.[4]

B.   Ketentuan dalam Perjanjian-Perjanjian WTO
Dalam WTO terdapat berbagai jenis perjanjian-perjanjian yang mengatur mengenai perdagangan. Dalam beberapa perjanjian-perjanjian tersebut tersebar berbagai ketentuan yang menyangkut mengenai masalah lingkungan.
1.   The General Agreement on Tariffs and Trade
a.    Pasal I dan III: Non-diskriminasi (Non-discrimination)
Dalam GATT, terdapat dua prinsip utama mengenai non-diskriminasi dalam hukum perdagangan internasional. Prinsip pertama adalah most-favoured nation (MFN) yang dinyatakan dalam Pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan bahwa segala bentuk perlakuan khusus yang diberikan suatu negara ke negara lain, maka perlakuan khusus tersebut juga harus diberikan kepada negara-negara peserta GATT/WTO lainnya.[5]  Perlakuan ini harus diberikan tanpa syarat dan mencakup juga kepada (i) bea masuk dan biaya-biaya, (ii) seluruh peraturan dan formalitas mengenai ekspor dan impor, (iii) pajak internal, biaya-biaya, dan peraturan domestik dari produksi, penjualan dan penggunaan dari sebuah produk.[6] Prinsip kedua adalah prinsip national treatment pada Pasal III GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa sebuah produk yang berasal dari negara lain akan diperlakukan sama selayaknya produk-produk nasional dari suatu negara.

b.   Pasal XI: Pembatasan Kuantitatif dan perizinan (Quantitative restrictions and licenses)
Pasal XI GATT memberikan berbagai pembatasan-pembatasan bagi negara peserta dalam hal membatasi perdagangan internasional. Para pihak dapat menggunakan berbagai pembatasan selain quota impor/ekspor perizinan dan berbagai hal yang berkaitan dengan ekspor/impor barang.[7]
c.    Pasal XX: Pengecualian terhadap Lingkungan
Pasal XX GATT merupakan pasal terpenting dalam hal hubungan antara perdagangan dengan lingkungan. Pasal ini menyatakan dua pengecualian dalam perdagangan dengan dasar perlindungan lingkungan, yaitu:
1.   Keperluan untuk melindungi kehidupan manusia, hewan atau tanaman...(butir b);
2.   Berhubungan dengan konservasi sumber daya alam yang terbatas, jika upaya tersebut dibuat secara efektif dalam hubungan dengan pembatasan produksi domestic atau konsumsi (butir g).
Butir b mensyaratkan bahwa sebuah upaya bersifat “dibutuhkan” (necessary) dalam rangka melindungi lingkungan. Untuk memenuhi syarat ini, maka negara diharuskan:[8]
1.   Membuktikan adanya sebuah kebutuhan untuk melindungi lingkungannya sendiri;
2.   Membuktikan adanya sebuah upaya yang berkaitan dengan perdagangan dalam rangka melakukan perlindungan tersebut; dan
3.   Jika sebuah upaya yang berkaitan dengan perdangangan dibutuhkan, maka harus dipastikan upaya tersebut merupakan pembatasan perdagangan pada tingkat paling rendah dalam mencapai tujuan perlindungan lingkungan.
Syarat kedua dan ketiga merupakan sebuah tes atau ujian untuk menentukan apakah memang dibutuhkan sebuah pengendalian perdagangan dalam rangka melindungi lingkungan. Hal ini juga bertujuan untuk mengurangi dampak besar yang diakibatkan dari upaya-upaya perlindungan lingkungan serta mengindari penggunaan isu lingkungan sebagai kedok dalam penggunaan pembatasan atau penghambat dalam perdagangan. Meskipun demikian, alasan-alasan terhadap isu lingkungan sangat sulit untuk dijelaskan, karena keterbatasan fakta ilmiah yang dapat diberikan. Namun salah satu bentuk upaya yang berhasil dalam ranah WTO adalah dalam Shrimp-Turtle Case. Kasus ini diajukan pada tahun 1998 dihadapan WTO Appelate Body. Dalam putusannya, kasus ini diindikasikan bahwa memang terjadi sebuah dampak yang mempengaruhi udara dan air atau dampak terhadap spesies yang terancam bahaya dan spesies yang berpindah tempat (migratory).

2.   The Agreement on Technical Barriers to Trade
Perjanjian ini mengatur mengenai batasan-batasan berupa non-tarif yang dapat diberlakukan dalam perdagangan internasional. Pada perjanjian ini, intinya mengatur dua hal, yaitu mengakui bahwa setiap ngeara anggota mempunyai hak untuk memberlakukan standar teknis suatu barang maupun jasa sesuai dengan ukuran nasionalnya masing-masing, dan mengatur agar standar tersebut tidak menimbulkan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional.[9]
Dalam  The Agreement on Technical Barriers to Trade, ketentuan mengenai lingkungan sebagai salah satu technical barriers dalam perdagangan internasional adalah Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:
Members shall ensure that technical regulations are not prepared, adopted or applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia: national security requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the environment. In assessing such risks, relevant elements of consideration are, inter alia: available scientific and technical information, related processing technology or intended end-uses of products.”

3.   The Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
Perjanjian ini memberikan standar-standar yang dibutuhkan untuk melindungi manusia, hewan dan tumbuhan dari bahaya-bahaya tertentu yang tercipta akibat perpindahan tanaman, hewan dan bahan makanan dalam perdagangan. Perlindungan yang ingin dicapai oleh mayoritas negara-negara adalah dari:[10]
1.  Resiko yang berasal dari hama, penyakit, dan organisme pembawa penyakit yang masuk ke dalam wilayah negaranya bersama produk-produk yang diperdagangkan; dan
2.  Resiko dari bahan kimia, pupuk, pestisida dan herbisida, racun, obat untuk hewan dalam bahan makanan, minuman atau pakan hewan.
Kesepakatan ini juga mengatur hal-hal tertentu yang harus dipenuhi agar standar tersebut dapat dibenarkan, misalnya suatu standar SPS tidak boleh melebihi standar yang sudah berlaku secara internasional.[11] Dalam perjanjian ini, ketentuan pokok mengenai pengaplikasian SPS ini terdapat pada
Annex A
Definitions
Sanitary or phytosanitary measure — Any measure applied:
(a)     to protect animal or plant life or health within the territory of the Member from risks arising from the entry, establishment or spread of pests, diseases, disease-carrying organisms or disease-causing organisms;
(b)     to protect human or animal life or health within the territory of the Member from risks arising from additives, contaminants, toxins or disease-causing organisms in foods, beverages or feedstuffs;
(c)     to protect human life or health within the territory of the Member from risks arising from diseases carried by animals, plants or products thereof, or from the entry, establishment or spread of pests; or
(d)    to prevent or limit other damage within the territory of the Member from the entry, establishment or spread of pests.”

Ketiga perjanjian di atas merupakan perjanjian inti atau yang terpenting dalam pengaturan mengenai lingkungan dan perdagangan. Meskipun demikian, terdapat pula perjanjian-perjanjian lainnya dalam WTO yang juga menyinggung mengenai masalah lingkungan dan perdangangan, yaitu Agreement on Agriculture (Annex 2, Pasal 12), Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (pasal 27) dan General Agreement on Trade in Services (GATS).

C.   Penyelesaian Sengketa dalam WTO
          Pada masa sebelum WTO terbentuk, para pihak dalam GATT sudah memiliki mekanisme pengaturan penyelesaian sengketa yang diatur dalam GATT 1947, yaitu pada Pasal XXII dan XXIII. Kedua pasal ini mengedepankan metode konsultasi dalam rangka penyelesaian sengketa yang terjadi antara kedua belah pihak. Seiring berkembangnya waktu, penyempurnaan terhadap mekanisme penyelesaian sengketa ini pun dilakukan, antara lain dengan berbagai perjanjian dan keputusan yang dibuat, yaitu:
1.     The Decision of 5 April 1966 on Procedures under Article XXIII;
2.     The Understanding on Notification, Consultation, Dispute Settlement and Surveillance, adopted on 28 November 1979;
3.     The Decision on Dispute Settlement, dalam Ministerial Declaration of 29 November 1982;
4.     The Decision on Dispute Settlement of 30 November 1984.
Perubahan yang paling mencolok dalam perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa adalah ketika diadopsi sebuah keputusan yang dinamakan Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures. Pada keputusan ini, diberikan sebuah mekanisme baru, yaitu panel reports (laporan panel), dimana para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui panel ini, jika metode konsultasi tidak berhasil. Laporan panel ini diberikan dan diputuskan oleh GATT Council.[12]
WTO kini memliki sebuah badan penyelesaian sengketa yang dipimpin oleh Dispute Settlement Body (DSB) dan diatur dalam Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi pada tahun 1994. Penyelesaian sengketa dalam WTo harus melalui beberapa tahap, yaitu:[13]
1.     Konsultasi (Consultation)
Para peserta diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa melalui konsultasi terlebih dahulu. Jika dalam 60 hari tidak membuahkan hasil, maka penggugat dapat meminta DSB untuk mendirikan sebuah Panel.
2.     Panel (The Panel)
Panel terdiri dari 3 orang dalam memutuskan kasus yang terjadi dalam sebuah proses peradilan semu. Panel akan memberikan laporan (report) yang akan disirkulasikan selama 9 bulan setalah panel dibentuk. Laporan ini akan berlaku kecuali ditolak secara konsensus atau adanya upaya banding.
3.     Banding (Appeal)
Banding diajukan kepada Appellate Body (yang terdiri dari 3 anggota yang dipilih secara acak). Appellate Body dapat memperkuat, menambahkan, bahkan merubah fakta-fakta hukum dan kesimpulan dalam laporan yang dibuat oleh Panel, yang telah dikeluarkan dalam jangka 60-90 hari.
4.     Pengawasan dari Pelaksanaan (Surveillance on Implementation)
Anggota yang terbukti melanggar, harus melaksanakan kewajibannya setelah 30 hari putusan diadopsi DSB. Jika anggota tersebut gagal menjalankan kewajibannya (dalam jangka waktu tertentu, pada umumnya 8-15 bulan), maka kedua negara dapat bernegoisasi untuk menyepakati sebuah kompensasi. Jika hal ini masih tetap tidak berhasil, maka pihak yang menang dapat memohon izin kepada DSB untuk menerapkan pembalasan dalam bentuk sanksi perdagangan atau bentuk lainnya.

D.  Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1.   Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Badan-badan peradilan termasuk (termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang para pihak sepakati, yaitu
a.     bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya;
b.     bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2.   Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Termuat dalam Psl 7 The Uncitral Model Law on International Commercial Arbitration, Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.
3.   Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono)
4.   Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
5.   Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted).

E.   Forum Penyelesaian Sengketa
1.   Negosiasi
Kohona mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at conclusions having regard to the wishes of all the disputants."
Kelemahan utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama, manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.
Kelemahan kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-permasalahan yang timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui negosiasi ini
Kelemahan ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.
2.   Mediasi
a.     Melalui pihak ketiga
b.     Usulan-usulan penyelesaian informal
c.      A quick, cheap and effective result
d.     Penyelesaian melalui mediasi tidak mengikat
3.   Konsiliasi
a.     Konsiliasi lebih formal daripada mediasi
b.     Komisi konsiliasi
c.      Tahap tertulis dan lisan
4.   Arbitrase
a.     Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau arbitrase sementara (ad hoc).
b.     Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
1)  kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat daripada proses berperkara melalui pengadilan.
2)  sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
3)  Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi.
4)  Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).
5)  Dalam hal arbitrase internasional, putusan arbitrasenya relative lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya,atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).
Baik submission clause atau arbitration clause harus tertulis. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita, syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam instrumen hukum internasional, termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958.
Di samping kelembagaan, pengaturan arbitrase sekarang ini ditunjang pula oleh adanya suatu aturan berabitrase yang menjadi acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on International Commercial Arbitration yang dibuat oleh the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)

Seiring perkembangan dunia perdagangan yang semakin meluas melewati batas batas negara atau perdagangan internasional, maka dibutuhkan suatu upaya dan mekanisme yang dapat mengawal perdagangan internasional tersebut hingga tidak ada pihak yang dirugikan, WTO (World Trade Organization) selaku organisasi internasional yang membidangi perdagangan telah membuat mekanisme penyelesaian sengketa yang melalui beberapa tahap, yaitu:
1.     Konsultasi (Consultation)
2.     Panel (The Panel)
3.     Banding (Appeal)
4.     Pengawasan dari Pelaksanaan (Surveillance on Implementation)
Sedangkan penyelesaian sengketa antara para pihak dapat diselesaikan dengan:
1.     Negosiasi
2.     Mediasi
3.     Konsiliasi
4.     Arbitrase










[1] Elli Louka. International Environmental Law – Fairness, Effectiveness and World Order, (New York: Cambridge University Press, 2006), pg. 383.
[2] The United Nations Environment Programme, Division of Technology, Industry and Economics, Economics and Trade Unit and The International Institute for Sustainable Development. Environment and Trade – A Handbook, (Canada: UNEP and IISD, 2000), pg. 21.
[3] Philippe Sands and Pierre Klein. Bowett’s Law of International Institutions, 5th ed., (London: Sweet and Maxwell, 2001), pg. 116.
[4] Article IV 1994 Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement)
[5] Article I GATT, “…any advantage, favour, privilege, or immunity granted by any contracting party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.”
[6] Patricia Birnie and Alan Boyle. International Law & The Environment, (New York: Oxford University Press, 2002), pg.699.
[7] The United Nations Environment Programme, op. cit., pg. 29.
[8] Ibid.
[9] Syamsul Ma’arif, “WTO sebagai Organisasi Perdagangan” dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed.).  Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001), hal. 149.
[10] The United Nations Environment Programme, op. cit., pg 31.
[11] Ma’arif, op. cit., hal 151.
[12] Lihat Bagian G Annex III Decision of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures.
[13] The United Nations Environment Programme, op. cit., pg. 33.