Wednesday, October 12, 2011

Demokrasi dan Pemilihan Umum di Indonesia

by Erland Evriansyah

Sebuah pertanyaan muncul ketika kita melihat demokrasi di Indonesia dan Pemilihan Umum, baik Wakil Rakyat (DPRdan DPRD), Kepala Negara, Kepala Daerah maupun Wakil Daerah (DPD). pertanyaan yang muncul adalah bagaimana model Demokrasi dan Pemilihan Umum yang ideal untuk Indonesia.

Secara geografis, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demikian luas membutuhkan sistem pemerintahan yang mampu meningkatkan pelayananan dan kesejahteraan masyarakat. Latar belakang kesatuan geografi dapat menjadi kuat apabila memiliki sejumlah daya tarik yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat, sehingga dapat mendorong terlaksananya sistem politik sebagai bagian kehidupan negara yang dapat mempengaruhi persatuan dan kesatuan dalam masyarakat tersebut. Dari aspek geografi dimana Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dislokasi penduduk yang tersebar di daratan serta terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan, menjadikan sistem pemerintahan dan politik Indonesia telah mengalami perubahan mendasar dan mencari bentuk yang dapat menampung aspirasi masyarakat. Keterbatasan sosialisasi secara menyeluruh tentang praktik penyelenggaraan sistem politik dewasa ini, berdampak rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pelaksanaan konstitusi yaitu UUD 1945. Berdasarkan letak geografi Indonesia adalah negara bangsa yang terbangun atas “cleavages” atau pengelompokan berdasarkan agama, etnisitas, daerah dan kelas sosial yang sangat majemuk sehingga sangat fragile dan mudah pecah. Setiap cleavage itu punya aspirasi dan tuntutan politik yang berbeda sehingga untuk menyalurkannya diperlukan bentuk sistem demokrasi non mayoritas. Sifat sosio-kultural, geografi dan politis bangsa Indonesia yang majemuk tersebut sangat difahami oleh para pendiri negara bangsa ini, sebab itu aspek geografi dipandang sebagai dasar dalam menetapkan sistem pemerintahan. Tinjauan aspek geografi yang tidak dimaknai secara komprehensif dalam suatu aturan yang jelas dimana terdapat pengabaian terhadap kondisi geografi akan mengakibatkan pelayanan terhadap masyarakat menjadi terbatas dan berakibat kepada tidak dimaknainya implementasi sistem presidensial dan masyarakat hanya mengenal sistem multi partai dan mengemukanya sistem parlementer. Seharusnya kondisi geografi dengan perbedaan ciri daerah yang membentuk karakteristik, kondisi, kepentingan dan permasalahan, serta potensi masing-masing daerah menjadi konsep dasar untuk dalam pembahasan Undang-Undang ataupun ketentuan lainnya, sehingga geografi bukan menjadi kendala bagi pelaksanaan sistem pemerintahan yang merupakan pilihan politik negara dan sudah seharusnya pula masyarakat memahami ketentuan konstitusi UUD 1945. Berbagai kendala yang dihadapi penyelenggaraan sistem presidensial dewasa ini terutama apabila ditinjau dari aspek geografi memerlukan penguatan terhadap implementasi konstitusi yaitu sistem pemerintahan presidensial dalam ketatanegaraan indonesia. Untuk masyarakat Indonesia yang heterogen amat diperlukan sistem demokrasi yang mengakar pada corak budaya dan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia yang plural. Masyarakat Indonesia yang heterogen ini memerlukan sistem demokrasi yang dapat mengakomodasi kepentingan politik semua unsur dalam masyarakat yaitu sistem demokrasi multi-partai sederhana untuk membangun stabilitas pemerintahan. Asumsi teoritis bahwa masyarakat Indonesia yang sangat plural memerlukan bentuk demokrasi yang khas yang tidak mungkin dapat diakomodasi dalam sistem kepartaian sederhana, dapat dipahami sebagai teori dimana semakin banyak jumlah penduduk yang tersebar dalam geografi yang sangat luas akan sulit utuk menyamakan persepsi. Dalam proses demokratisasi ini dengan kondisi geografis Indonesia yang unik menuntut sebuah konsep sistem politik khusus yang dapat diterapkan dengan stabil oleh bangsa Indonesia. Pada saat ini dihadapkan sifat sosio-kultural, geografis dan politik bangsa yang pluralis, dibutuhkan suatu penguatan sistem pemerintahan dalam ketatanegaraan Indonesia yang mampu menjadi sarana penyalur aspirasi politik dari berbagai cleavagas (kemajemukan berdasarkan agama, etnisitas, daerah dan kelas sosial), sehingga diperlukan penguatan koalisi besar dalam menciptakan mayoritas di Parlemen, agar penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat presidensial dapat memanfaatkan sistem multi partai, untuk memantapkan sinergitas antara lembaga Eksekutif dan Legislatif guna percepatan proses pembangunan nasional.

Demografi
Penduduk yang besar dan berkualitas merupakan aset pembangunan dan sekaligus sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, sebaliknya penduduk dengan jumlah besar tapi berkualitas rendah akan menjadi beban bangsa. Pada saat ini jumlah penduduk Indonesia mendekati 250 juta, berdasarkan analisa demografi bahwa kependudukan memiliki implikasi yang luas terhadap sektor pembangunan lain yaitu penyediaan fasilitas seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, lingkungan hidup, perumahan dan sebagainya. Bagi Indonesia, faktor penduduk apabila ditinjau dari suatu potensi, baru dapat dihitung atau di kalkulasi dalam kategori kuantitatif, namun belum menjadi kategori kualitatif yang merupakan suatu kekuatan dan diperhitungkan karena memiliki daya saing dan daya banding. Padahal, berangkat dari indeks kualitatif itulah, sumber daya penduduk mampu menjadi kategori historis yaitu mampu membuat perhitungan, untuk mengisi lembaran sejarah sekaligus membuat sejarah. Penduduk merupakan faktor fundamental yang pada hakekatnya adalah pilar kehidupan bangsa. Pada saat ini dengan jumlah penduduk yang amat besar beriringan dengan terbatasnya kemampuan negara, menempatkan Indonesia sebagai negara besar dengan jumlah penduduk yang besar tetapi belum sebanding dengan kualitas, baik dari sisi pendidikan, kesehatan maupun daya belinya.
Potensi penduduk yang amat besar itu, belum sepenuhnya bercerita tentang kualitas dan keunggulan sehingga benar-benar menjadi subyek pembangunan, melainkan secara relatif masih menjadi beban pembangunan. Bahkan, berdasarkan proyeksi penduduk 2000 - 2025, pada tahun 2025 nanti, seiring dengan makin bertambahnya jumlah penduduk, maka perlu angkatan kerja akan menjadi permasalahan tersendiri sebagai akibat dominannya jumlah usia produktif. Aspek pertumbuhan penduduk dalam suatu negara merupakan faktor fundamental bagi perencanaan pembangunan negara, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem politik dalam penyelenggaraan negara. Dengan demikian upaya mengejar ketertinggalan dalam pengembangan sumber daya manusia juga merupakan tantangan bangsa agar dapat menciptakan manusia yang produktif dan berdaya saing tinggi. Implementasi sistem presidensial yang diterapkan dalam era multi partai ditinjau dari aspek demografi merupakan tantangan karena apapun sistem yang diterapkan hanya merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebab itu dalam menjawab semua tantangan ini pemerintah dan semua komponen bangsa harus berupaya dan bekerja keras untuk mengatasi semua permasalahan. Di atas fondasi masyarakat majemuk, bersemangat gotong-royong atau kekeluargaan seharusnya dibangun model demokrasi Indonesia yang diharapkan mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang diperlukan untuk mendukung pembangunan nasional. Sistem yang ditetapkan dalam konstitusi yaitu sistem presidensial karena dipandang paling cocok dan paling mampu menyalurkan aspirasi politik dari berbagai cleavages sosial yang kompleks tersebut, meskipun sistem presidensial dalam banyak teori tidak sesuai bila diterapkan dalam multi partai. Namun demikian, kondisi Indonesia pada saat ini telah menjalankan sistem yang memberikan arah bagi terselenggaranya pemerintahan yang kuat yaitu sistem presidensial yang diterapkan di era multi partai. Hal ini mendorong berbagai gagasan untuk memperkuat komitmen terhadap konstitusi dengan tetap mewadahi seluruh aspirasi masyarakat yang tersebar diseluruh nusantara.

Historis
 Secara historis Indonesia bukanlah sebuah negara kesatuan, sebelum masa kolonial, di Indonesia sekarang ini dikenal dengan sebutan Nusantara yang terdiri dari kerajaan-kerajaan baik yang kecil maupun yang besar. pada masa itu ada kalanya muncul sebuah kerajaaan besar yang dominan menguasai kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya, sebagai contoh, diabad ke 7 muncul Kedatuan Sriwijaya, pada abad ke 14 muncul Kerajaan Majapahit, dipulau pulau lain masih banyak lagi kerajaan kerajaan kecil  yang berdiri sendiri dan merdeka. sistem monarki absolut berlaku didalam kerajaan-kerajaan tersebut. setelah masuknya masa kolonialisme dan imperialisme barat di Nusantara, mulai terjadilah perubahan perubahan pengelolaan negara dan wilayah kekuasaan. di Nusantara pernah di kuasai oleh Belanda dan Inggris, pola pengelolaan tanah jajahan yang dilakukan oleh dua negara imperialis ini sangat berbeda, Belanda lebih kepada exploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat jajahannya, sementara Inggris menunjukkkan sikap yang lebih lembut di negara jajahannya dengan istilah persemakmuran. dikarenakan oleh kesamaan penderitaaan akibat penjajahan Belanda, orang-orang nusantara bersatu untuk menentang penjajahan dan melakukan perlawanan. Perlawanan di tiap daerah inilah yang mepersatukan daerah-daerah jajahan ini untuk kemudian setelah merdeka menjadi satu negara yang dikenal dengan sebutan Indonesia.

Sosial Budaya
Faktor budaya mempunyai andil dalam mengelola demokrasi, dimana politik dapat mengubah sebuah budaya dan membuatnya bertahan. Budaya merupakan subyektivitas nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi, dan praduga mendasar yang lazim diantara orang-orang dalam suatu masyarakat. Sebaliknya, budaya juga mampu mempengaruhi penguatan kelembagaan politik. Demokrasi yang terkelola merupakan demokrasi yang ditopang oleh sikap dan perilaku budaya masyarakat yang konstruktif, jauh dari perilaku anti-budaya. Di Indonesia proses ke arah pembudayaan politik itulah yang kini sedang terjadi, persoalannya adalah akselerasi politik, dalam arti hadirnya banyak tata-aturan politik (political law) sebagai buah reformasi, ternyata belum disertai akselerasi budaya. Akselerasi politik juga belum sepenuhnya diikuti oleh suatu jaminan “kepastian politik”, karena sistem yang terbentuk masih cenderung tumpang tindih, rancu, dan bahkan bertabrakan. Kerancuan mendasar terjadi, tatkala sistem pemerintahan presidensial tidak sepenuhnya dapat berjalan secara murni dan konsisten, karena realitas sistem multipartai dalam implementasinya mempraktikkan sistem parlementer. Multikulturalisme dapat memicu terjadinya berbagai macam konflik yang akan menimbulkan tidak stabilnya bidang politik. Kondisi ini akan menghambat pengkaderan kepemimpinan, selain itu kondisi negara yang cenderung tidak stabil akibat terbentuknya kelompok-kelompok tertentu yang hanya memikirkan kepentingan jangka pendek akan mengganggu pengkaderan kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan. Demikian pula secara keseluruhan dengan adanya upaya-upaya yang mengganggu seperti teror bom, teror politik dan belum terselesaikannya konflik horisontal dan masalah-masalah lainnya di daerah. Kesenjangan sosial akibat terpuruknya perekonomian dapat mengerosi budaya masyarakat yang memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial serta kepedulian sosial yang tinggi. Kunci ke stabilan politik di era demokrasi adalah bagaimana keseimbangan politik terjadi secara efektif dalam kerangka checks and balances. Disinilah diperlukan peran para aktor dan agen politik yang mampu menentukan kualitas formasi politik, dalam arti apakah pola-pola koalisi politik yang hadir, betul-betul mengarah pada stabilitas politik yang terkendali secara demokratis.
Dalam konteks revitalisasi dan rethinking jati diri bangsa ketika reformasi menjadi simbol perubahan dalam kehidupan bangsa kita, masyarakat menyambutnya dengan ensesi utama dari revitalisasi sebagai upaya untuk mengembalikan “spirit” bangsa untuk reformasi di segala bidang kehidupan. Semangat demokratisasi menjadi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini, berdasarkan aspirasi masyarakat meskipun masih dalam proses waktu. Pada hakekatnya identitas budaya yang bersumber pada local wisdom dan local genius kelompok masyarakat yang menjunjung kemerdekaan, kemandirian (otonom) dan kedaulatan bangsa menjadi modal bagi kemajuan dan perubahan mendatang. Multikulturalisme pada hakekatnya juga didasari oleh kenyataan sosial budaya, bahwa kelompok pendukung kebudayaan tertentu tidak terlepas pengaruh kebudayan lain diluar lingkungan kebudayaannya. Sangat dirasakan berbagai problem kebudayaan yang kini dialami oleh bangsa Indonesia, termasuk problem kebudayaan lokal dalam menghadapi serbuan budaya global yang datang dari barat. Otonomi daerah dalam konteks kebudayaan menjadi salah satu langkah antisipatif untuk merespon kondisi kekinian. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat menjadi prasyarat yang tidak bisa dielakkan bagi stake holder untuk membenahi dan merumuskan kembali hakekat jati diri dan identitas budaya Indonesia.
Budaya bangsa dan kehidupan sosial masyarakat merupakan lingkaran terdalam dari Ketahanan Nasional yang bila sampai tersentuh pengaruh luar yang negatif bisa merubah jatidiri bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa amat ditentukan oleh integritas dan identitas suatu bangsa.

Seperti kita ketahui bersama bahwa perjalanan dan pengalaman pelaksanaan Pemilu dan Demokrasi di Indonesia baru berlangsung 6 (enam) dasawarsa. Sesungguhnya komitmen para founding fathers terhadap penyelenggaraan Negara, yang telah menggunakan sistem demokrasi, patut menjadi tonggak sejarah bahwa sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah memegang prinsip-prinsip demokrasi. Meskipun pelaksanaan Pemilu di Indonesia baru terlaksana tahun 1955, yakni 10 (sepuluh) tahun kemudian setelah proklamasi tahun 1945. Pertimbangan ketidakstabilan politik, yang terjadi pada waktu itu menjadi alasan pokok belum memungkinkan diselenggarakan pemilu lebih cepat.               Pada tahun 1955 tersebut Indonesia melaksanakan pemilihan umum yang pertama dengan diikuti oleh lebih dari 10 (sepuluh) partai politik. Dalam catatan sejarah, pemilu tahun 1955 sebagai pemilu yang paling demokratis karena disamping  tidak ada korban jiwa juga berjalan dengan jujur, adil dan aman. Jika dibandingkan pemilu di era Orde Baru yang berjalan mulai tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997, sepanjang pelaksanaan pemilu tersebut, banyak peristiwa politik berdarah dan cukup mencekam bagi masyarakat Indonesia.           
Sejarah Pemilu di Era Orde Baru yang dilaksanakan sebanyak 6 (enam) kali tersebut yang sangat fenomenal dalam pemilu Era Orde Baru tersebut, terpilih presiden yang sama yaitu; Jenderal Besar Mohammad Soeharto. Sedangkan di era reformasi pemilu diselenggarakan tahun 1999 dan tahun 2004. Pada saat penggantian Rezim Orde Baru ke Reformasi terjadi penggantian Presiden sebanyak 4 (empat) kali. Presiden B.J. Habibie sebagai presiden masa transisi tahun 1998 s/d 1999 dan Presiden Abdulrahman Wachid tahun 1999 s/d 2001 hasil pemilu tahun 1999. Oleh karena terjadinya peristiwa politik, timbulnya mosi tidak percaya dari rakyat, maka Presiden Abdulrahman Wachid diberhentikan dari jabatan presiden, melalui Sidang Istimewa MPR. Kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri tahun 2001 s/d 2004. Adapun pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama dalam sejarah politik di Indonesia yaitu memilih presiden secara langsung. Hasil pemilu tahun 2004 sebagai presiden terpilih secara demokratis adalah Susilo Bambang Yudhoyono dengan M. Yusuf Kalla sebagai wakilnya.            
Mencermati perkembangan pemilu demi pemilu di Indonesia yang sudah dilaksanakan sebanyak 9 (sembilan) kali, seharusnya membuat masyarakat dan bangsa Indonesia semakin cerdas dalam menjalankan etika dan moral politik yang menjadi dasar dalam mengimplementasi Konsep Sistem Politik yang demokratis. Namun peristiwa politik berupa insiden kekerasan dan konflik sosial masih mewarnai dalam pelaksanaan pemilu. Fenomena penting yang perlu dicermati perkembangan dalam pemilu terutama dalam pemilu gubernur  dan bupati/walikota disamping sering timbul konflik horizontal juga diwarnai money politik dan high cost. Padahal tujuan utama pemilu memberikan proses pendidikan politik warga negara dan pendemokrasian politik, sosial dan ekonomi. Namun ternyata hasilnya, menunjukan bahwa, partisipasi masyarakat terhadap pemilu masih rendah, berbagai daerah jumlah pemilih yang tidak melaksanakan hak pilihnya alias golput masih diatas 40% dan bahkan ada beberapa daerah mendekati angka 50%. Pemimpin yang terpilih juga sebagian besar tidak mencerminkan aspirasi rakyat dengan indikasinya para kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) terpilih di samping tidak profesional dan kompeten juga banyak yang terlibat dalam kasus hukum (korupsi).            
Barangkali pemilu yang terlalu sering dilaksanakan membuat masyarakat jenuh dan apatis. Apalagi hasil pemilu tidak kunjung memberikan peningkatan taraf hidup masyarakat dan bahkan kehidupan masyarakat semakin hari semakin mengalami kesulitan. Pemilu masih hanya sekedar menjalankan proses politik secara prosedural, hanya digunakan untuk pelegitimasian saja, belum secara substansial. Jadi pemilu masih menjadi permainan para elite politik saja, dan belum menyentuh kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Meskipun pemilu sudah berjalan selama 6 (enam) dasawarsa lebih selama usia Republik ini, kenyataannya belum bisa memberikan jaminan terselenggaranya stabilitas politik dan ekonomi, yang menopang terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga menjadi pertanyaan besar apakah sistem pemilihannya yang salah atau para elite politik yang tidak istiqomah menjalankan kewajiban sebagai seorang negarawan, yang menduduki kursi sebagai pejabat publik.           
Dengan demikian bagaimana mendesain sistem pemilu yang bisa mendorong terwujudnya praktek demokrasi yang berkualitas. Demokrasi memang suatu konsep politik yang menjadi harapan semua pihak bahwa dengan terciptanya sistem demokrasi yang dipraktekkan suatu negara mampu memperbaiki keadaan ekonomi dan politik, seperti disebutkan diatas. Namun implementasi demokrasi di setiap negara hasilnya berbeda-beda. Seperti misalnya di India yang sudah ratusan tahun menerapkan demokrasi, tapi keadaan rakyatnya masih tetap miskin. Akan tetapi di Cina negara komunis yang sangat otoriter berhasil membangun ekonominya dengan spektakuler yaitu pertumbuhan ekonomi mencapai 9% di tengah krisis  keuangan global yang melanda di hampir semua  negara termasuk Indonesia yang terkena dampaknya. Sesungguhnya secara teoritis menurut Jeff Haynes (1997) ada 3 (tiga) macam sebutan demokrasi yaitu : pertama; demokrasi formal (formal demoracy) dalam kehidupan demokrasi ini secara formal pemilu dijalankan dengan teratur, bebas dan adil. Tidak terjadi pemaksaan oleh negara terhadap masyarakatnya. Ada kebebasan yang cukup untuk menjamin dalam pemilihan umum. Namun demokrasi formal tersebut belum menghasilkan sebagaimana yang diinginkan masyarakat yaitu; kesejahteraan masyarakat yang didukung terwujudnya stabilitas ekonomi dan politik. Model demokrasi seperti ini kemungkinan bisa dianalogikan dengan situasi dan kondisi di era reformasi saat ini yang tengah berlangsung. Kedua; demokrasi permukaan (Façade Democracy); yaitu demokrasi seperti yang tampak dari luarnya memang demokrasi, tetapi sesungguhnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Demokrasi model ini kemungkinan lebih tepat jika dianalogikan dengan situasi  dan kondisi demokrasi pada masa Orde Baru. Ketiga; demokrasi substantif (Substantive Democracy), demokrasi model ini memberikan ruang yang lebih luas bagi masyarakat, mungkin saja di luar mekanisme formal. Sehingga kebebasan yang dimiliki masyarakat mampu mendapatkan akses informasi yang akurat dalam pengambilan keputusan penting oleh negara atau pemerintah. Jadi demokrasi substantif tersebut memberikan keleluasaan yang lebih dinamis tidak hanya demokrasi politik saja seperti selama ini dirasakan, tapi juga  demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.                        
Model demokrasi substantif ini merupakan konsep yang menjamin terwujudnya perbaikan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Jika demokrasi substantif bisa diwujudkan, barangkali dapat disebut sebagai demokrasi yang berkualitas. Karena implementasi demokrasi model ini mampu menyentuh kebutuhan masyarakat yang sangat mendasar yaitu nilai kebebasan yang memberikan akses di bidang ekonomi dan sosial, sehingga peningkatan taraf hidup masyarakat mampu bisa diwujudkan.            
Adapun sudut pandang kegunaan dan keuntungan dengan menjalankan prinsip demokrasi menjamin kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas. Seperti yang disampaikan oleh Robert A. Dahl (1999) bahwa; pertama; dengan demokrasi, pemerintahan dapat mencegah timbulnya otokrat yang kejam dan licik; kedua; menjamin tegaknya hak asasi bagi setiap warga negara; ketiga; memberikan jaminan terhadap kebebasan pribadi yang lebih luas; keempat; dengan demokrasi dapat membantu rakyat untuk melindungi kebutuhan dasarnya, kelima; Demokrasi juga memberikan jaminan kebebasan terhadap setiap individu warga negara untuk menentukan nasibnya sendiri; keenam; Demokrasi memberikan kesempatan menjalankan tanggung jawab moral; ketujuh; Demokrasi juga memberikan jaminan untuk membantu setiap individu warga negara untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki secara luas; kedelapan; Demokrasi juga menjunjung tinggi persamaan politik bagi setiap warga negara; kesembilan; Demokrasi juga mampu mencegah perang antara negara yang satu dengan yang lain; kesepuluh; Demokrasi juga mampu memberikan jaminan kemakmuran bagi masyarakatnya.                        
Potret demokrasi seperti yang disebutkan diatas memerlukan perjuangan dan energi yang besar. Di samping itu perubahan paradigma yang juga diikuti oleh perubahan perilaku masyarakat dalam berdemokrasi merupakan suatu keniscayaan, jika bangsa ini ingin terbebas dari belenggu ketergantungan dari pihak manapun. Perubahan paradigma dan perilaku tersebut harus selalu sinergi dengan prinsip etika dan moral politik, budaya politik serta keteladanan para elite politik. Dengan demikian model demokrasi yang berkualitas seperti disebutkan diatas, akan terwujud jika sistem dengan menggunakan sistim distrik, atau sistim proporsional dengan menggunakan sistim daftar calon berdasarkan penentuan suara terbanyak. Sebab dengan sistem tersebut pertama; masyarakat akan lebih cenderung memilih figure dan tidak memilih  simbol partai politik, kedua; sistem ini menjamin terpilihnya wakil yang berkualitas, ketiga; hubungan wakil dan rakyatnya lebih dekat, keempat; wakil rakyat lebih independent dan berorientasi pada konstituennya.

bersambung........

No comments: