Perkembangan
dunia perdagangan internasional saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Negara sebagai salah satu aktor utama dalam perdagangan internasional telah
menyepakati sebuah mekanisme atau aturan perdagangan yang dapat lancar dan
efektif dan bersifat global atau lintas negara, muncullah ide untuk membentuk
aturan dalam bidang perdagangan internasional yang berlaku secara global. Salah
satu aturan yang diterapkan adalah sistem free
trade atau perdagangan bebas. Perdagangan bebas akan bekerja lebih efektif
dan menguntungkan melalui pengurangan hingga penghilangan hambatan-hambatan
berupa tarif dan non tarif. Pemikiran ini disetujui oleh negara-negara pada
saat itu dan dituangkan dalam General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947. GATT merupakan
sebuah instrumen hukum sekaligus sebuah lembaga semu dalam mengatur perdagangan
internasional dengan tujuan menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan
internasional. Hingga pada tahun 1994 akhirnya terbentuk sebuah organisasi
nyata dalam perdagangan internasional yang dinamakan World Trade Organization (WTO).[1]
Transaksi
perdagangan internasional menimbulkan potensi sengketa dagang apabila salah
satu pihak melakukan wan prestasi atau tidak melaksanakan penuh kewajibannya
sebagaimana isi perjanjian yang telah dibuat sehingga memerlukan upaya,
mekanisme dan aturan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan internasional.
Transaksi
perdagangan internasional yang berpotensi menimbulkan sengketa perdagangan
internasional membutuhkan suatu
mekanisme penyelesaian yang disepakati akan digunakan oleh kedua belah pihak
yang bersengketa, oleh karena itu permasalahan dalam penulisan makalah ini
adalah bagaimana bentuk penyelesaian sengketa perdagangan internasional
dilakukan?
A. World Trade
Organization (WTO
WTO
(World Trade Organization) merupakan sebuah organisasi perdagangan
internasional yang didirikan pada tahun 1994. WTO bertujuan untuk mengatur
sistem perdagangan dunia. Sebelum WTO terbentuk, sebuah perjanjian mengenai
tarif dan perdagangan sudah terbentuk pada tahun 1947 yang disebut dengan GATT
(General Agremeents on Tariffs and Trade). GATT merupakan cikal bakal lahirnya
WTO. Pada dasarnya GATT memberikan dua pengaturan dasar dalam rezim perdagangan
internasional, yaitu:[2]
1.
Membuat
ketentuan-ketentuan untuk merendahkan dan menghapuskan tarif, dan
2.
Membuat kewajiban
untuk mencegah atau menghapuskan jenis-jenis hambatan dan rintangan terhadap
perdangangan (non-tariff barriers).
Seiring
perkembangannya, GATT beberapa kali melakukan beberapa putaran negosiasi (round of negotiations). Pada tahap
Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang berlangsung pada tahun 1986-1993, diputuskan
bahwa perlu dibuat sebuah lembaga yang mengatur sistem perdagangan
multilateral, sehingga pada tahun 1994 lahirlah WTO.[3]
Struktur dari WTO terdiri dari: The Ministerial Conference, The General Council, The Trade Policy Review
Body, The Dispute Settlement Body, The Councils on Trade in Goods and Trade in
Services dan The Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property
Rights.[4]
B. Ketentuan dalam
Perjanjian-Perjanjian WTO
Dalam
WTO terdapat berbagai jenis perjanjian-perjanjian yang mengatur mengenai
perdagangan. Dalam beberapa perjanjian-perjanjian tersebut tersebar berbagai
ketentuan yang menyangkut mengenai masalah lingkungan.
1.
The General Agreement
on Tariffs and Trade
a.
Pasal I dan III:
Non-diskriminasi (Non-discrimination)
Dalam GATT, terdapat
dua prinsip utama mengenai non-diskriminasi dalam hukum perdagangan
internasional. Prinsip pertama adalah most-favoured
nation (MFN) yang dinyatakan dalam Pasal I GATT. Prinsip MFN menyatakan
bahwa segala bentuk perlakuan khusus yang diberikan suatu negara ke negara
lain, maka perlakuan khusus tersebut juga harus diberikan kepada negara-negara
peserta GATT/WTO lainnya.[5] Perlakuan ini harus diberikan tanpa syarat
dan mencakup juga kepada (i) bea masuk dan biaya-biaya, (ii) seluruh peraturan
dan formalitas mengenai ekspor dan impor, (iii) pajak internal, biaya-biaya,
dan peraturan domestik dari produksi, penjualan dan penggunaan dari sebuah
produk.[6]
Prinsip kedua adalah prinsip national treatment pada Pasal III GATT. Prinsip
ini menyatakan bahwa sebuah produk yang berasal dari negara lain akan
diperlakukan sama selayaknya produk-produk nasional dari suatu negara.
b.
Pasal XI: Pembatasan
Kuantitatif dan perizinan (Quantitative
restrictions and licenses)
Pasal XI GATT
memberikan berbagai pembatasan-pembatasan bagi negara peserta dalam hal
membatasi perdagangan internasional. Para pihak dapat menggunakan berbagai
pembatasan selain quota impor/ekspor perizinan dan berbagai hal yang berkaitan
dengan ekspor/impor barang.[7]
c.
Pasal XX:
Pengecualian terhadap Lingkungan
Pasal XX GATT
merupakan pasal terpenting dalam hal hubungan antara perdagangan dengan
lingkungan. Pasal ini menyatakan dua pengecualian dalam perdagangan dengan
dasar perlindungan lingkungan, yaitu:
1.
Keperluan untuk
melindungi kehidupan manusia, hewan atau tanaman...(butir b);
2.
Berhubungan dengan
konservasi sumber daya alam yang terbatas, jika upaya tersebut dibuat secara
efektif dalam hubungan dengan pembatasan produksi domestic atau konsumsi (butir
g).
Butir b mensyaratkan
bahwa sebuah upaya bersifat “dibutuhkan” (necessary)
dalam rangka melindungi lingkungan. Untuk memenuhi syarat ini, maka negara
diharuskan:[8]
1.
Membuktikan adanya
sebuah kebutuhan untuk melindungi lingkungannya sendiri;
2.
Membuktikan adanya
sebuah upaya yang berkaitan dengan perdagangan dalam rangka melakukan
perlindungan tersebut; dan
3.
Jika sebuah upaya
yang berkaitan dengan perdangangan dibutuhkan, maka harus dipastikan upaya
tersebut merupakan pembatasan perdagangan pada tingkat paling rendah dalam
mencapai tujuan perlindungan lingkungan.
Syarat kedua dan
ketiga merupakan sebuah tes atau ujian untuk menentukan apakah memang
dibutuhkan sebuah pengendalian perdagangan dalam rangka melindungi lingkungan.
Hal ini juga bertujuan untuk mengurangi dampak besar yang diakibatkan dari
upaya-upaya perlindungan lingkungan serta mengindari penggunaan isu lingkungan
sebagai kedok dalam penggunaan pembatasan atau penghambat dalam perdagangan.
Meskipun demikian, alasan-alasan terhadap isu lingkungan sangat sulit untuk
dijelaskan, karena keterbatasan fakta ilmiah yang dapat diberikan. Namun salah
satu bentuk upaya yang berhasil dalam ranah WTO adalah dalam Shrimp-Turtle Case. Kasus ini diajukan
pada tahun 1998 dihadapan WTO Appelate
Body. Dalam putusannya, kasus ini diindikasikan bahwa memang terjadi sebuah
dampak yang mempengaruhi udara dan air atau dampak terhadap spesies yang
terancam bahaya dan spesies yang berpindah tempat (migratory).
2.
The Agreement on
Technical Barriers to Trade
Perjanjian ini
mengatur mengenai batasan-batasan berupa non-tarif yang dapat diberlakukan
dalam perdagangan internasional. Pada perjanjian ini, intinya mengatur dua hal,
yaitu mengakui bahwa setiap ngeara anggota mempunyai hak untuk memberlakukan
standar teknis suatu barang maupun jasa sesuai dengan ukuran nasionalnya
masing-masing, dan mengatur agar standar tersebut tidak menimbulkan hambatan
yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional.[9]
Dalam The
Agreement on Technical Barriers to Trade, ketentuan mengenai lingkungan
sebagai salah satu technical barriers
dalam perdagangan internasional adalah Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:
“Members shall ensure
that technical regulations are not prepared, adopted or applied with a view to
or with the effect of creating unnecessary obstacles to international trade.
For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive
than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risks
non-fulfilment would create. Such legitimate objectives are, inter alia: national security
requirements; the prevention of deceptive practices; protection of human health
or safety, animal or plant life or health, or the environment. In assessing
such risks, relevant elements of consideration are, inter alia: available scientific and technical information,
related processing technology or intended end-uses of products.”
3.
The Agreement on the
Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
Perjanjian ini
memberikan standar-standar yang dibutuhkan untuk melindungi manusia, hewan dan
tumbuhan dari bahaya-bahaya tertentu yang tercipta akibat perpindahan tanaman,
hewan dan bahan makanan dalam perdagangan. Perlindungan yang ingin dicapai oleh
mayoritas negara-negara adalah dari:[10]
1. Resiko
yang berasal dari hama, penyakit, dan organisme pembawa penyakit yang masuk ke
dalam wilayah negaranya bersama produk-produk yang diperdagangkan; dan
2. Resiko
dari bahan kimia, pupuk, pestisida dan herbisida, racun, obat untuk hewan dalam
bahan makanan, minuman atau pakan hewan.
Kesepakatan ini juga
mengatur hal-hal tertentu yang harus dipenuhi agar standar tersebut dapat
dibenarkan, misalnya suatu standar SPS tidak boleh melebihi standar yang sudah
berlaku secara internasional.[11]
Dalam perjanjian ini, ketentuan pokok mengenai pengaplikasian SPS ini terdapat
pada
Annex
A
Definitions
“Sanitary or phytosanitary measure
— Any measure applied:
(a)
to protect animal or plant life or health within the territory of the Member
from risks arising from the entry, establishment or spread of pests, diseases,
disease-carrying organisms or disease-causing organisms;
(b)
to protect human or animal life or health within the territory of the Member
from risks arising from additives, contaminants, toxins or disease-causing
organisms in foods, beverages or feedstuffs;
(c)
to protect human life or health within the territory of the Member from risks
arising from diseases carried by animals, plants or products thereof, or from
the entry, establishment or spread of pests; or
(d)
to prevent or limit other damage within the territory of the Member from the
entry, establishment or spread of pests.”
Ketiga perjanjian di atas
merupakan perjanjian inti atau yang terpenting dalam pengaturan mengenai
lingkungan dan perdagangan. Meskipun demikian, terdapat pula
perjanjian-perjanjian lainnya dalam WTO yang juga menyinggung mengenai masalah
lingkungan dan perdangangan, yaitu Agreement
on Agriculture (Annex 2, Pasal 12), Agreement
on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (pasal 27) dan General Agreement on Trade in Services
(GATS).
C. Penyelesaian Sengketa
dalam WTO
Pada masa sebelum WTO terbentuk, para
pihak dalam GATT sudah memiliki mekanisme pengaturan penyelesaian sengketa yang
diatur dalam GATT 1947, yaitu pada Pasal XXII dan XXIII. Kedua pasal ini
mengedepankan metode konsultasi dalam rangka penyelesaian sengketa yang terjadi
antara kedua belah pihak. Seiring berkembangnya waktu, penyempurnaan terhadap
mekanisme penyelesaian sengketa ini pun dilakukan, antara lain dengan berbagai
perjanjian dan keputusan yang dibuat, yaitu:
2.
The Understanding on Notification, Consultation, Dispute
Settlement and Surveillance, adopted on 28 November 1979;
3.
The Decision on Dispute Settlement, dalam Ministerial
Declaration of 29 November 1982;
4.
The Decision on Dispute Settlement of 30 November 1984.
Perubahan yang paling mencolok dalam
perkembangan mekanisme penyelesaian sengketa adalah ketika diadopsi sebuah
keputusan yang dinamakan Annex III Decision of 12 April
1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and Procedures.
Pada keputusan ini, diberikan sebuah mekanisme baru, yaitu panel reports (laporan panel), dimana para pihak dapat
menyelesaikan sengketa melalui panel ini, jika metode konsultasi tidak
berhasil. Laporan panel ini diberikan dan diputuskan oleh GATT Council.[12]
WTO
kini memliki sebuah badan penyelesaian sengketa yang dipimpin oleh Dispute
Settlement Body (DSB) dan diatur dalam Understanding
on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes yang diadopsi
pada tahun 1994. Penyelesaian sengketa dalam WTo harus melalui beberapa tahap,
yaitu:[13]
1.
Konsultasi (Consultation)
Para peserta diwajibkan untuk
menyelesaikan sengketa melalui konsultasi terlebih dahulu. Jika dalam 60 hari
tidak membuahkan hasil, maka penggugat dapat meminta DSB untuk mendirikan
sebuah Panel.
2.
Panel (The Panel)
Panel terdiri dari 3 orang dalam
memutuskan kasus yang terjadi dalam sebuah proses peradilan semu. Panel akan
memberikan laporan (report) yang akan disirkulasikan selama 9 bulan setalah
panel dibentuk. Laporan ini akan berlaku kecuali ditolak secara konsensus atau
adanya upaya banding.
3.
Banding (Appeal)
Banding diajukan kepada Appellate Body
(yang terdiri dari 3 anggota yang dipilih secara acak). Appellate Body dapat
memperkuat, menambahkan, bahkan merubah fakta-fakta hukum dan kesimpulan dalam
laporan yang dibuat oleh Panel, yang telah dikeluarkan dalam jangka 60-90 hari.
4.
Pengawasan dari
Pelaksanaan (Surveillance on
Implementation)
Anggota yang terbukti melanggar, harus
melaksanakan kewajibannya setelah 30 hari putusan diadopsi DSB. Jika anggota
tersebut gagal menjalankan kewajibannya (dalam jangka waktu tertentu, pada
umumnya 8-15 bulan), maka kedua negara dapat bernegoisasi untuk menyepakati
sebuah kompensasi. Jika hal ini masih tetap tidak berhasil, maka pihak yang menang
dapat memohon izin kepada DSB untuk menerapkan pembalasan dalam bentuk sanksi
perdagangan atau bentuk lainnya.
D. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa
1.
Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Badan-badan peradilan termasuk (termasuk arbitrase)
harus menghormati apa yang para pihak sepakati, yaitu
a.
bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu,
menekan atau menyesatkan pihak lainnya;
b.
bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua
belah pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan
kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2.
Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa
Termuat
dalam Psl 7 The Uncitral Model Law on International Commercial Arbitration, Pasal
ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan
sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini penyerahan sengketa kepada
arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan
suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para
pihak untuk memilihnya.
3.
Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Kebebasan
para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih
kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono)
4.
Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
5.
Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Menurut
prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak
mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah
penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional suatu
negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted).
E.
Forum Penyelesaian Sengketa
1.
Negosiasi
Kohona
mengatakan bahwa negosiasi adalah "an efficacious means of settling
disputes relating to an agreement, because they enable parties to arrive at
conclusions having regard to the wishes of all the disputants."
Kelemahan
utama dalam penggunaan cara ini dalam menyelesaikan sengketa adalah: pertama,
manakala para pihak berkedudukan tidak seimbang. Salah satu pihak kuat, yang lain
lemah. Dalam keadaan ini, salah satu pihak kuat berada dalam posisi untuk
menekan pihak lainnya. Hal ini acapkali terjadi manakala dua pihak bernegosiasi
untuk menyelesaikan sengketanya di antara mereka.
Kelemahan
kedua adalah bahwa proses berlangsungnya negosiasi acapkali lambat dan bisa
memakan waktu lama. Ini terutama karena sulitnya permasalahan-permasalahan yang
timbul di antara para pihak. Selain itu jarang sekali adanya persyaratan
penetapan batas waktu bagi para pihak untuk menyelesaian sengketanya melalui
negosiasi ini
Kelemahan
ketiga, adalah manakala suatu pihak terlalu keras dengan pendiriannya. Keadaan
ini dapat mengakibatkan proses negosiasi ini menjadi tidak produktif.
2.
Mediasi
a.
Melalui pihak ketiga
b.
Usulan-usulan penyelesaian informal
c.
A quick, cheap and effective result
d.
Penyelesaian melalui mediasi tidak mengikat
3.
Konsiliasi
a.
Konsiliasi lebih formal daripada mediasi
b.
Komisi konsiliasi
c.
Tahap tertulis dan lisan
4.
Arbitrase
a.
Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga
yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase terlembaga atau
arbitrase sementara (ad hoc).
b.
Adapun alasan utama mengapa badan arbitrase ini semakin banyak
dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
1) kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase
yang pertama dan terpenting adalah penyelesaiannya yang relatif lebih cepat
daripada proses berperkara melalui pengadilan.
2) sifat kerahasiaannya. Baik kerahasiaan mengenai
persidangannya maupun kerahasiaan putusan arbitrasenya.
3) Dalam penyelesaian melalui arbitrase, para pihak
memiliki kebebasan untuk memilih ‘hakimnya’ (arbiter) yang menurut mereka
netral dan akhli atau spesialis mengenai pokok sengketa yang mereka hadapi.
4) Keuntungan lainnya dari badan arbitrase ini adalah
dimungkinkannya para arbiter untuk menerapkan sengketanya berdasarkan kelayakan
dan kepatutan (apabila memang para pihak menghendakinya).
5) Dalam hal arbitrase internasional, putusan
arbitrasenya relative lebih dapat dilaksanakan di negara lain dibandingkan
apabila sengketa tersebut diselesaikan melalui misalnya pengadilan.
Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat
dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan
kepada arbitrase suatu sengketa yang telah lahir. Alternatif lainnya,atau
melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum
sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration clause).
Baik submission clause atau arbitration
clause harus tertulis. Sistem hukum nasional dan internasional mensyaratkan
ini sebagai suatu syarat utama untuk arbitrase. Dalam hukum nasional kita,
syarat ini tertuang dalam pasal 1 (3) UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam instrumen hukum internasional,
termuat dalam Pasal 7 ayat (2) UNCITRAL Model Law on International Commercial
Arbitration 1985, atau pasal II Konvensi New York 1958.
Di samping kelembagaan, pengaturan arbitrase
sekarang ini ditunjang pula oleh adanya suatu aturan berabitrase yang menjadi
acuan bagi banyak negara di dunia, yaitu Model Law on International Commercial
Arbitration yang dibuat oleh the United Nations Commission on International
Trade Law (UNCITRAL)
Seiring
perkembangan dunia perdagangan yang semakin meluas melewati batas batas negara
atau perdagangan internasional, maka dibutuhkan suatu upaya dan mekanisme yang
dapat mengawal perdagangan internasional tersebut hingga tidak ada pihak yang
dirugikan, WTO (World Trade Organization) selaku organisasi internasional yang
membidangi perdagangan telah membuat mekanisme penyelesaian sengketa yang
melalui beberapa tahap, yaitu:
1.
Konsultasi (Consultation)
2.
Panel (The Panel)
3.
Banding (Appeal)
4.
Pengawasan dari
Pelaksanaan (Surveillance on
Implementation)
Sedangkan
penyelesaian sengketa antara para pihak dapat diselesaikan dengan:
1.
Negosiasi
2.
Mediasi
3.
Konsiliasi
4.
Arbitrase
[1] Elli Louka. International Environmental Law – Fairness,
Effectiveness and World Order, (New York: Cambridge University Press,
2006), pg. 383.
[2] The United Nations
Environment Programme, Division of Technology, Industry and Economics,
Economics and Trade Unit and The International Institute for Sustainable
Development. Environment and Trade – A
Handbook, (Canada: UNEP and IISD, 2000), pg. 21.
[3] Philippe Sands and
Pierre Klein. Bowett’s Law of
International Institutions, 5th ed., (London: Sweet and Maxwell,
2001), pg. 116.
[4] Article IV 1994
Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement)
[5] Article I GATT, “…any
advantage, favour, privilege, or immunity granted by any contracting party to
any product originating in or destined for any other country shall be accorded
immediately and unconditionally to the like product originating in or destined
for the territories of all other contracting parties.”
[6] Patricia Birnie and
Alan Boyle. International Law & The
Environment, (New York: Oxford University Press, 2002), pg.699.
[7] The United Nations
Environment Programme, op. cit., pg.
29.
[8] Ibid.
[9] Syamsul Ma’arif, “WTO
sebagai Organisasi Perdagangan” dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed.). Hukum
dan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2001), hal. 149.
[10] The United Nations
Environment Programme, op. cit., pg
31.
[11] Ma’arif, op. cit., hal 151.
[12] Lihat Bagian G Annex III Decision
of 12 April 1989 on Improvements to the GATT Dispute Settlement Rules and
Procedures.
[13] The United Nations
Environment Programme, op. cit., pg.
33.
No comments:
Post a Comment