Wednesday, October 26, 2011

Strategi KPU dalam menghadapi sengketa pemilukada





Pedahuluan
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seacara normatif dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 disebutkan bahwa “Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
Kemudian terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat dengan Pilkada ataupun Pemilukada juga  merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpin di daerah, Deangan harapan dapat menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat pemilihnya.
.
Dilain pihak Kondisi ini (pemilihan langsung) juga pada kenyatannya sangat rentan terjadinya pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan oleh Peserta Pemilu ataupun Penyelenggara Pemilu, .Untuk menghadapi situasi ini diperlukan suatu cara atau stategi untuk penanganan sengketa yang muncul dalam pelaksanaan pemilu dan pemilukada.
Dasar Hukum Penanganan Sengketa Pemilu
Secara yuridis formal penanganan sengketa pemilu dan pemilukada merupakan  kewenangan Mahkamah Konstitusi,  Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 junctis Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 12 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menentukan bahwa penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah oleh Mahkamah Agung telah dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi. Konkritnya pada 29 Oktober 2008, Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi menandatangani Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili masalah pemilu sebagai pelaksanaan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tersebut.

Sengketa Pemilukada
Pada mulanya istilah yang dipakai untuk Pemilihan Kepala Daerah adalah Pilkada, dan  dalam perkembangan selanjutnya disebut Pemilukada. Berkaitan dengan sengketa pada Pemilukada tersebut , sebenarnya dapat dibagi lagi, yakni pertama, sengketa antar peserta pemilu dan kedua, sengketa peserta dengan Penyelenggara dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sengketa antar peserta pemilukada yakni, calon kepala daerah yang satu dengan yang lain diselesaikan melalui Bawaslu, dalam hal ini Bawaslu Daerah. Ini berdasarkan legitimasi dari Peraturan Bawaslu RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sementara, sengketa antara peserta pemilu dengan KPU, dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) jenis pula, yakni sengketa selain putusan hasil pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Bila sengketa tersebut berkenaan dengan selain putusan hasil pemilu, maka tempat penyelesaiannya adalah Mahkamah Agung, dalam hal ini PTUN. Namun bila berkaitan dengan sengketa (perselisihan) hasil pemilu, maka yang berwenang adalah Mahkamah Konstitusi. Bergesernya bandul kekuasaan mengadili sengketa pemilukada yang sebelumnya pada Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi merupakan konsekuensi diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, serta hasil perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ditahun 2008.
Strategi KPU dalam menyelesaikan Sengketa di MK
Dalam rangka melaksanakan kewenangannya terutama dalam hal penanganan sengketa Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Mahkamah Konstitusi menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dalam ketentuan umum Peraturan Mahakamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 tersebut menyatakan bahwa Pemilihan Umum Kepala Daerah, yang selanjutnya disebut Pemilukada, adalah pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian Peradilan perselisihan hasil Pemilukada tersebut bersifat cepat dan sederhana, sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 sebagaiman telah dikemukan di atas, bahawa KPU harus memahami dengan baik sebagai Penyelenggara Pemilukada untuk menghadapi kemungkinan adanya potensi sengketa pemilu dan pemilukada, Untuk menghadapi potensi sengketa pemilu dan pemilukada dapat dilakukan tindakan preventif berupa pengawasan dan supervisi dalam setiap tahapan pemilukada yang dilakukan oleh KPU setingkat diatas, dapat pula dilakukan advokasi dan bimbingan teknis dalam setiap penyusunan keputusan KPUD di setiap tahapan.
Dalam hal perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sudah di ajukan ke Mahkamah Konstitusi maka KPU dan KPUD dapat bekerjasama menyiapkan bahan eksepsi atau tangkisan atas permohonan yang di ajukan oleh pihak pemohon. Secara umum Eksepsi tersebut haruslah memperhatikan :
1.    Kedudukan hukum (legal standing), baik pemohon maupun lembaga peradilannya.
2.    Objek Permohonan, apakah permohonan yang diajukan adalah merupakan objek sengketa pemilukada ataukah bukan.
3.    Saksi, KPU dan KPUD harus dapat mengenali siapakah orang yang ditunjuk sebagai saksi oleh pemohon dan keterlibatannya dalam perkara aquo serta menyiapkan saksi pendukung.
4.    Bukti, KPU dan KPUD harus dapat memastikan bahwa bukti yang diajukan pemohon adalah bukti yang sebenarnya dan dapat mengenali bukti yang diajukan tersebut mengenai ke absahannya, serta menyiapkan bukti otentik dalam perkara aquo.

Penutup
Secara Konstitusional atau berdasarkan UUD 1945, bahwa peradilan harus menganut secara seimbang asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas manfaat, sehingga dalam hal ini MK sebagai badan peradilan hukum (court of law) tidak dapat dipasung hanya oleh bunyi undang-undang melainkan juga harus menggali rasa keadilan dengan tetap berpedoman pada makna substantif undang-undang itu sendiri. Untuk menggali rasa keadilan ini, maka MK memiliki beberapa alternatif yang harus dipilih untuk memutus suatu perkara yaitu:
1. MK dapat menyatakan Pilkada batal demi hukum (void ab initio) sejak semula;
2. MK dapat menyatakan Keputusan KPUD tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Calon Terpilih batal, sekaligus menyatakan Calon lain yang berhak (mis: Pemohon);
3. MK dapat menyatakan Keputusan KPUD tentang Hasil Penghitungan Suara Putaran I atau Putaran II batal, dan menyatakan Termohon (misalnya) tidak berhak ikut ke Putaran II atau dalam Pilkada Ulang, sehingga hasil yang dihitung adalah pemungutan suara Putaran I di luar keikutsertaan Pihak  yang dipersalahkan;
4. MK dapat menyatakan bahwa Pilkada cacat yuridis, maka harus dilakukan pemungutan suara ulang pada semua tingkatan (Kabupaten/Kota/ Kecamatan/ Kelurahan/Desa);
Harus dipertimbangkan pula bahwa semua pilihan (putusan) sebagaimana diuraikan di atas memiliki kelemahan dan risiko, akan tetapi MK harus memilih untuk berpegang pada moralitas konstitusi dalam UUD 1945 untuk menghindari sinisme akibat ketidakjelasan arah demokrasi dengan rangkaian kelalaian atau kesengajaan yang ada di hadapan MK.
Terkait dengan kewenangan dan pelaksanaan kewenangan dalam melaksanakan dan mengawal demokrasi, tentunya harus dikawal dengan sanksi yang cukup efektif untuk mencegah terjadinya kemunduran dalam tahap demokratisasi untuk bisa sampai pada tahap akhir transisi politik di Indonesia secara adil, damai, jujur, dan bersih. Diharapkan melalui aplikasi asas proporsionalitas, maka kelalaian yang menimbulkan kondisi yang tidak lagi dapat ditolerir tersebut dapat dievaluasi dan dinilai oleh MK serta diputus dengan alternatif yang sesuai dengan tugas dan fungsi MK;


                                                                                     

Wednesday, October 19, 2011

Dreams come true

Suatu ketika tahun 2007 aku membaca buku tentang ESQ (Emosional and Spiritual Question) yang ditulis oleh Ary Ginanjar Agustian, sejak itu aku ingin sekali mengikuti training mengenai ESQ ini,sejak awal aku menyukai tulisan atau apapun yang berhubungan dengan pengembangan diri, entah itu buku, artikel, training dan lain lain. entah kenapa aku sangat tertarik dengan ilmu pengembangan diri, seolah tema pengembangan diri ini mempunyai magnet yang kuat yang menarik minat bacaku, yang akhirnya membuka mataku mengenai banyak hal dan memancing rasa ingin tahuku tentang banyak hal, ada salah satu buku yang kubaca mencontohkan dengan ilustrasi dunia komputer yang menarikku untuk mengenal bagaimana dan apa yang bisa dilakukan oleh komputer dan aku pun mengenal komputer, program, dan hal lain yang berhubungan dengan itu.
hampir semua buku yang aku baca mengarahkanku kepada sesuatu yang baru, pernah suatu ketika aku bekerja di suatu perusahaan  penerbitan buku sebagai tenaga pemasaran, beberapa buku tentang pemasaran aku baca untuk menambah pengetahuan mengenai pemasaran dan strateginya, ketika aku merasa jatuhdan nilai spiritualitas menurun, aku mencari buku yang dapat membangkitkan nilai spiritualitas dalam diriku.
ketika itu aku menemukan buku tentang ESQ, kulihat dan kubaca kata pengantarnya, akupun tertarik untuk memilikinya, subhanallah......., setelah membaca itu aku masih belum puas hingga bisa hadir dalam training ESQ, namun ternyata biaya training ESQ ini cukup mahal buatku, hingga pupuslah sudah harapanku untuk mengikuti training ESQ, hanya aku berharap kepada Allah seandainya mungkin, aku ingin bisa hadir dalam suatu training ESQ.
beberapa tahun kemudian aku sudah lupa mengenai training ESQ, aku berkenalan dengan salah satu kepala sekolah SD di Kemayoran, aku sering main ke kantornya untuk bertukar cerita, sekalian menawarkan daganganku, maklumlah pada saat itu aku masih bekerja sebagai tenaga pemasaran sebuah perusahaan penerbit, dari temanku inilah yang mengingatkanku akan training ESQ, dia baru selesai mengikuti training ESQ, banyak hal yang dia ceritakan sebagai pengalamannyadalam mengikuti training ESQ, ditambah lagi dia dapat mengikuti training itu secara gratis, ada temannya yang membelikan tiket untuknya, aku kembali teringat dengan impianku untuk mengikuti training ESQ tersebut, aku pun menceritakan hal itu kepada temanku itu, selepas itu aku berdoa lagi didalam hati, ya Allah... kapan aku bisa mengalami seperti yang telah dialami oleh temanku itu.
selang beberapa tahun aku sudah tidak bekerja lagi di perusahaan penerbitan itu, aku pindah kerja ke Setjen KPU, dan aku pun sudah lupa lagi mengenai harapanku untuk mengikuti training ESQ, karena rasanya tidak mungkin suatu lembaga negara akan mengikutsertakan pegawainya untuk training motivasi spiritual seperti ESQ. Oktober 2011 aku terkejut ketika mengetahui ada usulan dari Biro SDM untuk training ESQ, aku berdoa kepada Allah agar kiranya aku di ijnkan untuk hadir mengikuti training tersebut, adalah hal yang tidak mungkin aku bisa ikut, karena jatahku untuk mengikuti diklat sesuai tugas pokok dan fungsi ku, sudah dilaksanakan pada bulan Juni, dan target pesertanya adalah Kepala bagian, Kepala Subbagian dan staff, jumlahnya 11 orang dari tempatku. Subhanallah ya Rahmaan ya Rahiim, tiada daya upaya kecuali Allah menghendakinya........, dengan harapan yang semakin mengecil aku bertanya kepada temanku mengenai siapa saja yang diusulkan untuk mengikuti training ESQ tersebut, Alhamdulillah..........aku termasuk salah satu yang diusulkan mengikuti training tersebut, ada yang ganjil dalam usulan tersebut, 15 nama yang diusulkan, padahal hanya 11 nama yang diminta, aku bertanya lagi kepada temanku kenapa bertambah jumlah nama yang diusulkan, temanku menjawab bahwa tiba tiba pihak panitia meminta tambahan usulan nama calon peserta training menjadi 15 orang. Allah telah mengabulkan permohonanku...........suatu hal yang tak mungkin menurut ku, adalah mungkin bagi pemilik semesta ini dan ya Rahmaan telah membuktikan firmannya, memintalah kepadaku niscaya akan aku kabulkan......., Alhamdulillah ya Allah......
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
Terpujilah Allah Tuhan sekalian Alam
Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Penguasa Hari Pembalasan
Hanya Padamu Aku Mengabdi dan Hanya Padamu Aku Mohon Pertolongan
Tunjukilah Kami Jalan Yang Lurus
Jalan orang orang yang engkau beri nikmat, bukan jalan orang orang yang engkau murkai dan orang orang yang sesat.


Monday, October 17, 2011

Suatu Malam Dikala Sepi

by Erland Evriansyah

Ketika malam menampakkan kegagahannya
Ketika itulah sepi beranjak mendatangiku
Aku terdiam didalam sepi malam
Aku menikmati kesunyian ini
Aku teringat kekasih hati
Aku teringat si buah hati

Kerinduan merangkai hati
Kesepian mendera diri
Dalam sunyi sepi ini aku berjalan dalam khayal
Terbuka hati terhadap Illahi
Terbuka jiwa terhadap pencipta

Apalah artinya diri ini
Seonggok tulang berlapis daging dan kulit
Seperti butir pasir di gurun
Seperti buih digulung ombak samudera
Kecil....................................
Kemanakah akhir perjalanan hidup ini
Kemana pula jiwa ini kembali
Apakah kebahagiaan hakiki?
Dimanakah kebahagiaan hakiki?
Jawabannya ada pada Illahi
Kepadanya semua bermula dan
Kepadanya jualah semua akan kembali
Dimalam sepi ini aku bermunajat kepada Illahi
Ampuni dosa diri
Bukakan mata hati
Agar dapat ku rasakan kehadiranmu dalam hati
..........................................................................

Puisi Untuk Ibu dan Ayah

by Erland Evriansyah

Ibu engkaulah yang telah melahirkanku
Ibu engkau telah mengasuhku
Ibu engkau menemaniku dalam kesedihanku
Ibu dengan kasih sayangmu engkau merawatku
Ibu dengan kesabaranmu engkau menghadapi kenakalanku
Ibu dengan ketulusanmu engkau membimbingku
Ibu engkaulah matahari dalam kehidupanku

Ayah engkau mengajariku mengenal dunia
Ayah engkau membangunkanku ketika aku jatuh
Ayah engkau membimbingku menapaki jalan kehidupan
Ayah engkau membentuk karakter dan sifatku
Ayah engkau memukulku dengan pecut pembelajaran
Ayah engkau menjadikan aku sebagaimana aku sekarang
Ayah engkaulah cahaya dalam kehidupanku

Ibu dan Ayah karena engkaulah aku ada di dunia ini
Ibu dan Ayah syukurku kepada Allah berada dalam belaianmu
Ibu dan Ayah do'aku kepada Allah atas kebahagiaanmu
Ibu dan Ayah terima kasih atas seluruh pengorbananmu
Ibu dan Ayah terima kasih atas semua bimbinganmu
Ibu dan Ayah terima kasih atas kasih sayangmu
Ibu dan Ayah maafkan aku jikalau aku pernah melukai hatimu
Ibu dan Ayah ampunilah aku yang pernah membantahmu
Ibu dan Ayah aku sangat menyayangimu
Ibu dan ayah terimalah sembah dan sujud dari anakmu

Wednesday, October 12, 2011

Demokrasi dan Pemilihan Umum di Indonesia

by Erland Evriansyah

Sebuah pertanyaan muncul ketika kita melihat demokrasi di Indonesia dan Pemilihan Umum, baik Wakil Rakyat (DPRdan DPRD), Kepala Negara, Kepala Daerah maupun Wakil Daerah (DPD). pertanyaan yang muncul adalah bagaimana model Demokrasi dan Pemilihan Umum yang ideal untuk Indonesia.

Secara geografis, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demikian luas membutuhkan sistem pemerintahan yang mampu meningkatkan pelayananan dan kesejahteraan masyarakat. Latar belakang kesatuan geografi dapat menjadi kuat apabila memiliki sejumlah daya tarik yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat, sehingga dapat mendorong terlaksananya sistem politik sebagai bagian kehidupan negara yang dapat mempengaruhi persatuan dan kesatuan dalam masyarakat tersebut. Dari aspek geografi dimana Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan dislokasi penduduk yang tersebar di daratan serta terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan, menjadikan sistem pemerintahan dan politik Indonesia telah mengalami perubahan mendasar dan mencari bentuk yang dapat menampung aspirasi masyarakat. Keterbatasan sosialisasi secara menyeluruh tentang praktik penyelenggaraan sistem politik dewasa ini, berdampak rendahnya pemahaman masyarakat terhadap pelaksanaan konstitusi yaitu UUD 1945. Berdasarkan letak geografi Indonesia adalah negara bangsa yang terbangun atas “cleavages” atau pengelompokan berdasarkan agama, etnisitas, daerah dan kelas sosial yang sangat majemuk sehingga sangat fragile dan mudah pecah. Setiap cleavage itu punya aspirasi dan tuntutan politik yang berbeda sehingga untuk menyalurkannya diperlukan bentuk sistem demokrasi non mayoritas. Sifat sosio-kultural, geografi dan politis bangsa Indonesia yang majemuk tersebut sangat difahami oleh para pendiri negara bangsa ini, sebab itu aspek geografi dipandang sebagai dasar dalam menetapkan sistem pemerintahan. Tinjauan aspek geografi yang tidak dimaknai secara komprehensif dalam suatu aturan yang jelas dimana terdapat pengabaian terhadap kondisi geografi akan mengakibatkan pelayanan terhadap masyarakat menjadi terbatas dan berakibat kepada tidak dimaknainya implementasi sistem presidensial dan masyarakat hanya mengenal sistem multi partai dan mengemukanya sistem parlementer. Seharusnya kondisi geografi dengan perbedaan ciri daerah yang membentuk karakteristik, kondisi, kepentingan dan permasalahan, serta potensi masing-masing daerah menjadi konsep dasar untuk dalam pembahasan Undang-Undang ataupun ketentuan lainnya, sehingga geografi bukan menjadi kendala bagi pelaksanaan sistem pemerintahan yang merupakan pilihan politik negara dan sudah seharusnya pula masyarakat memahami ketentuan konstitusi UUD 1945. Berbagai kendala yang dihadapi penyelenggaraan sistem presidensial dewasa ini terutama apabila ditinjau dari aspek geografi memerlukan penguatan terhadap implementasi konstitusi yaitu sistem pemerintahan presidensial dalam ketatanegaraan indonesia. Untuk masyarakat Indonesia yang heterogen amat diperlukan sistem demokrasi yang mengakar pada corak budaya dan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia yang plural. Masyarakat Indonesia yang heterogen ini memerlukan sistem demokrasi yang dapat mengakomodasi kepentingan politik semua unsur dalam masyarakat yaitu sistem demokrasi multi-partai sederhana untuk membangun stabilitas pemerintahan. Asumsi teoritis bahwa masyarakat Indonesia yang sangat plural memerlukan bentuk demokrasi yang khas yang tidak mungkin dapat diakomodasi dalam sistem kepartaian sederhana, dapat dipahami sebagai teori dimana semakin banyak jumlah penduduk yang tersebar dalam geografi yang sangat luas akan sulit utuk menyamakan persepsi. Dalam proses demokratisasi ini dengan kondisi geografis Indonesia yang unik menuntut sebuah konsep sistem politik khusus yang dapat diterapkan dengan stabil oleh bangsa Indonesia. Pada saat ini dihadapkan sifat sosio-kultural, geografis dan politik bangsa yang pluralis, dibutuhkan suatu penguatan sistem pemerintahan dalam ketatanegaraan Indonesia yang mampu menjadi sarana penyalur aspirasi politik dari berbagai cleavagas (kemajemukan berdasarkan agama, etnisitas, daerah dan kelas sosial), sehingga diperlukan penguatan koalisi besar dalam menciptakan mayoritas di Parlemen, agar penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat presidensial dapat memanfaatkan sistem multi partai, untuk memantapkan sinergitas antara lembaga Eksekutif dan Legislatif guna percepatan proses pembangunan nasional.

Demografi
Penduduk yang besar dan berkualitas merupakan aset pembangunan dan sekaligus sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, sebaliknya penduduk dengan jumlah besar tapi berkualitas rendah akan menjadi beban bangsa. Pada saat ini jumlah penduduk Indonesia mendekati 250 juta, berdasarkan analisa demografi bahwa kependudukan memiliki implikasi yang luas terhadap sektor pembangunan lain yaitu penyediaan fasilitas seperti pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, lingkungan hidup, perumahan dan sebagainya. Bagi Indonesia, faktor penduduk apabila ditinjau dari suatu potensi, baru dapat dihitung atau di kalkulasi dalam kategori kuantitatif, namun belum menjadi kategori kualitatif yang merupakan suatu kekuatan dan diperhitungkan karena memiliki daya saing dan daya banding. Padahal, berangkat dari indeks kualitatif itulah, sumber daya penduduk mampu menjadi kategori historis yaitu mampu membuat perhitungan, untuk mengisi lembaran sejarah sekaligus membuat sejarah. Penduduk merupakan faktor fundamental yang pada hakekatnya adalah pilar kehidupan bangsa. Pada saat ini dengan jumlah penduduk yang amat besar beriringan dengan terbatasnya kemampuan negara, menempatkan Indonesia sebagai negara besar dengan jumlah penduduk yang besar tetapi belum sebanding dengan kualitas, baik dari sisi pendidikan, kesehatan maupun daya belinya.
Potensi penduduk yang amat besar itu, belum sepenuhnya bercerita tentang kualitas dan keunggulan sehingga benar-benar menjadi subyek pembangunan, melainkan secara relatif masih menjadi beban pembangunan. Bahkan, berdasarkan proyeksi penduduk 2000 - 2025, pada tahun 2025 nanti, seiring dengan makin bertambahnya jumlah penduduk, maka perlu angkatan kerja akan menjadi permasalahan tersendiri sebagai akibat dominannya jumlah usia produktif. Aspek pertumbuhan penduduk dalam suatu negara merupakan faktor fundamental bagi perencanaan pembangunan negara, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem politik dalam penyelenggaraan negara. Dengan demikian upaya mengejar ketertinggalan dalam pengembangan sumber daya manusia juga merupakan tantangan bangsa agar dapat menciptakan manusia yang produktif dan berdaya saing tinggi. Implementasi sistem presidensial yang diterapkan dalam era multi partai ditinjau dari aspek demografi merupakan tantangan karena apapun sistem yang diterapkan hanya merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebab itu dalam menjawab semua tantangan ini pemerintah dan semua komponen bangsa harus berupaya dan bekerja keras untuk mengatasi semua permasalahan. Di atas fondasi masyarakat majemuk, bersemangat gotong-royong atau kekeluargaan seharusnya dibangun model demokrasi Indonesia yang diharapkan mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang diperlukan untuk mendukung pembangunan nasional. Sistem yang ditetapkan dalam konstitusi yaitu sistem presidensial karena dipandang paling cocok dan paling mampu menyalurkan aspirasi politik dari berbagai cleavages sosial yang kompleks tersebut, meskipun sistem presidensial dalam banyak teori tidak sesuai bila diterapkan dalam multi partai. Namun demikian, kondisi Indonesia pada saat ini telah menjalankan sistem yang memberikan arah bagi terselenggaranya pemerintahan yang kuat yaitu sistem presidensial yang diterapkan di era multi partai. Hal ini mendorong berbagai gagasan untuk memperkuat komitmen terhadap konstitusi dengan tetap mewadahi seluruh aspirasi masyarakat yang tersebar diseluruh nusantara.

Historis
 Secara historis Indonesia bukanlah sebuah negara kesatuan, sebelum masa kolonial, di Indonesia sekarang ini dikenal dengan sebutan Nusantara yang terdiri dari kerajaan-kerajaan baik yang kecil maupun yang besar. pada masa itu ada kalanya muncul sebuah kerajaaan besar yang dominan menguasai kerajaan-kerajaan kecil disekitarnya, sebagai contoh, diabad ke 7 muncul Kedatuan Sriwijaya, pada abad ke 14 muncul Kerajaan Majapahit, dipulau pulau lain masih banyak lagi kerajaan kerajaan kecil  yang berdiri sendiri dan merdeka. sistem monarki absolut berlaku didalam kerajaan-kerajaan tersebut. setelah masuknya masa kolonialisme dan imperialisme barat di Nusantara, mulai terjadilah perubahan perubahan pengelolaan negara dan wilayah kekuasaan. di Nusantara pernah di kuasai oleh Belanda dan Inggris, pola pengelolaan tanah jajahan yang dilakukan oleh dua negara imperialis ini sangat berbeda, Belanda lebih kepada exploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat jajahannya, sementara Inggris menunjukkkan sikap yang lebih lembut di negara jajahannya dengan istilah persemakmuran. dikarenakan oleh kesamaan penderitaaan akibat penjajahan Belanda, orang-orang nusantara bersatu untuk menentang penjajahan dan melakukan perlawanan. Perlawanan di tiap daerah inilah yang mepersatukan daerah-daerah jajahan ini untuk kemudian setelah merdeka menjadi satu negara yang dikenal dengan sebutan Indonesia.

Sosial Budaya
Faktor budaya mempunyai andil dalam mengelola demokrasi, dimana politik dapat mengubah sebuah budaya dan membuatnya bertahan. Budaya merupakan subyektivitas nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi, dan praduga mendasar yang lazim diantara orang-orang dalam suatu masyarakat. Sebaliknya, budaya juga mampu mempengaruhi penguatan kelembagaan politik. Demokrasi yang terkelola merupakan demokrasi yang ditopang oleh sikap dan perilaku budaya masyarakat yang konstruktif, jauh dari perilaku anti-budaya. Di Indonesia proses ke arah pembudayaan politik itulah yang kini sedang terjadi, persoalannya adalah akselerasi politik, dalam arti hadirnya banyak tata-aturan politik (political law) sebagai buah reformasi, ternyata belum disertai akselerasi budaya. Akselerasi politik juga belum sepenuhnya diikuti oleh suatu jaminan “kepastian politik”, karena sistem yang terbentuk masih cenderung tumpang tindih, rancu, dan bahkan bertabrakan. Kerancuan mendasar terjadi, tatkala sistem pemerintahan presidensial tidak sepenuhnya dapat berjalan secara murni dan konsisten, karena realitas sistem multipartai dalam implementasinya mempraktikkan sistem parlementer. Multikulturalisme dapat memicu terjadinya berbagai macam konflik yang akan menimbulkan tidak stabilnya bidang politik. Kondisi ini akan menghambat pengkaderan kepemimpinan, selain itu kondisi negara yang cenderung tidak stabil akibat terbentuknya kelompok-kelompok tertentu yang hanya memikirkan kepentingan jangka pendek akan mengganggu pengkaderan kepemimpinan yang berwawasan kebangsaan. Demikian pula secara keseluruhan dengan adanya upaya-upaya yang mengganggu seperti teror bom, teror politik dan belum terselesaikannya konflik horisontal dan masalah-masalah lainnya di daerah. Kesenjangan sosial akibat terpuruknya perekonomian dapat mengerosi budaya masyarakat yang memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial serta kepedulian sosial yang tinggi. Kunci ke stabilan politik di era demokrasi adalah bagaimana keseimbangan politik terjadi secara efektif dalam kerangka checks and balances. Disinilah diperlukan peran para aktor dan agen politik yang mampu menentukan kualitas formasi politik, dalam arti apakah pola-pola koalisi politik yang hadir, betul-betul mengarah pada stabilitas politik yang terkendali secara demokratis.
Dalam konteks revitalisasi dan rethinking jati diri bangsa ketika reformasi menjadi simbol perubahan dalam kehidupan bangsa kita, masyarakat menyambutnya dengan ensesi utama dari revitalisasi sebagai upaya untuk mengembalikan “spirit” bangsa untuk reformasi di segala bidang kehidupan. Semangat demokratisasi menjadi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini, berdasarkan aspirasi masyarakat meskipun masih dalam proses waktu. Pada hakekatnya identitas budaya yang bersumber pada local wisdom dan local genius kelompok masyarakat yang menjunjung kemerdekaan, kemandirian (otonom) dan kedaulatan bangsa menjadi modal bagi kemajuan dan perubahan mendatang. Multikulturalisme pada hakekatnya juga didasari oleh kenyataan sosial budaya, bahwa kelompok pendukung kebudayaan tertentu tidak terlepas pengaruh kebudayan lain diluar lingkungan kebudayaannya. Sangat dirasakan berbagai problem kebudayaan yang kini dialami oleh bangsa Indonesia, termasuk problem kebudayaan lokal dalam menghadapi serbuan budaya global yang datang dari barat. Otonomi daerah dalam konteks kebudayaan menjadi salah satu langkah antisipatif untuk merespon kondisi kekinian. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat menjadi prasyarat yang tidak bisa dielakkan bagi stake holder untuk membenahi dan merumuskan kembali hakekat jati diri dan identitas budaya Indonesia.
Budaya bangsa dan kehidupan sosial masyarakat merupakan lingkaran terdalam dari Ketahanan Nasional yang bila sampai tersentuh pengaruh luar yang negatif bisa merubah jatidiri bangsa. Persatuan dan kesatuan bangsa amat ditentukan oleh integritas dan identitas suatu bangsa.

Seperti kita ketahui bersama bahwa perjalanan dan pengalaman pelaksanaan Pemilu dan Demokrasi di Indonesia baru berlangsung 6 (enam) dasawarsa. Sesungguhnya komitmen para founding fathers terhadap penyelenggaraan Negara, yang telah menggunakan sistem demokrasi, patut menjadi tonggak sejarah bahwa sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah memegang prinsip-prinsip demokrasi. Meskipun pelaksanaan Pemilu di Indonesia baru terlaksana tahun 1955, yakni 10 (sepuluh) tahun kemudian setelah proklamasi tahun 1945. Pertimbangan ketidakstabilan politik, yang terjadi pada waktu itu menjadi alasan pokok belum memungkinkan diselenggarakan pemilu lebih cepat.               Pada tahun 1955 tersebut Indonesia melaksanakan pemilihan umum yang pertama dengan diikuti oleh lebih dari 10 (sepuluh) partai politik. Dalam catatan sejarah, pemilu tahun 1955 sebagai pemilu yang paling demokratis karena disamping  tidak ada korban jiwa juga berjalan dengan jujur, adil dan aman. Jika dibandingkan pemilu di era Orde Baru yang berjalan mulai tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997, sepanjang pelaksanaan pemilu tersebut, banyak peristiwa politik berdarah dan cukup mencekam bagi masyarakat Indonesia.           
Sejarah Pemilu di Era Orde Baru yang dilaksanakan sebanyak 6 (enam) kali tersebut yang sangat fenomenal dalam pemilu Era Orde Baru tersebut, terpilih presiden yang sama yaitu; Jenderal Besar Mohammad Soeharto. Sedangkan di era reformasi pemilu diselenggarakan tahun 1999 dan tahun 2004. Pada saat penggantian Rezim Orde Baru ke Reformasi terjadi penggantian Presiden sebanyak 4 (empat) kali. Presiden B.J. Habibie sebagai presiden masa transisi tahun 1998 s/d 1999 dan Presiden Abdulrahman Wachid tahun 1999 s/d 2001 hasil pemilu tahun 1999. Oleh karena terjadinya peristiwa politik, timbulnya mosi tidak percaya dari rakyat, maka Presiden Abdulrahman Wachid diberhentikan dari jabatan presiden, melalui Sidang Istimewa MPR. Kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri tahun 2001 s/d 2004. Adapun pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama dalam sejarah politik di Indonesia yaitu memilih presiden secara langsung. Hasil pemilu tahun 2004 sebagai presiden terpilih secara demokratis adalah Susilo Bambang Yudhoyono dengan M. Yusuf Kalla sebagai wakilnya.            
Mencermati perkembangan pemilu demi pemilu di Indonesia yang sudah dilaksanakan sebanyak 9 (sembilan) kali, seharusnya membuat masyarakat dan bangsa Indonesia semakin cerdas dalam menjalankan etika dan moral politik yang menjadi dasar dalam mengimplementasi Konsep Sistem Politik yang demokratis. Namun peristiwa politik berupa insiden kekerasan dan konflik sosial masih mewarnai dalam pelaksanaan pemilu. Fenomena penting yang perlu dicermati perkembangan dalam pemilu terutama dalam pemilu gubernur  dan bupati/walikota disamping sering timbul konflik horizontal juga diwarnai money politik dan high cost. Padahal tujuan utama pemilu memberikan proses pendidikan politik warga negara dan pendemokrasian politik, sosial dan ekonomi. Namun ternyata hasilnya, menunjukan bahwa, partisipasi masyarakat terhadap pemilu masih rendah, berbagai daerah jumlah pemilih yang tidak melaksanakan hak pilihnya alias golput masih diatas 40% dan bahkan ada beberapa daerah mendekati angka 50%. Pemimpin yang terpilih juga sebagian besar tidak mencerminkan aspirasi rakyat dengan indikasinya para kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) terpilih di samping tidak profesional dan kompeten juga banyak yang terlibat dalam kasus hukum (korupsi).            
Barangkali pemilu yang terlalu sering dilaksanakan membuat masyarakat jenuh dan apatis. Apalagi hasil pemilu tidak kunjung memberikan peningkatan taraf hidup masyarakat dan bahkan kehidupan masyarakat semakin hari semakin mengalami kesulitan. Pemilu masih hanya sekedar menjalankan proses politik secara prosedural, hanya digunakan untuk pelegitimasian saja, belum secara substansial. Jadi pemilu masih menjadi permainan para elite politik saja, dan belum menyentuh kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera. Meskipun pemilu sudah berjalan selama 6 (enam) dasawarsa lebih selama usia Republik ini, kenyataannya belum bisa memberikan jaminan terselenggaranya stabilitas politik dan ekonomi, yang menopang terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga menjadi pertanyaan besar apakah sistem pemilihannya yang salah atau para elite politik yang tidak istiqomah menjalankan kewajiban sebagai seorang negarawan, yang menduduki kursi sebagai pejabat publik.           
Dengan demikian bagaimana mendesain sistem pemilu yang bisa mendorong terwujudnya praktek demokrasi yang berkualitas. Demokrasi memang suatu konsep politik yang menjadi harapan semua pihak bahwa dengan terciptanya sistem demokrasi yang dipraktekkan suatu negara mampu memperbaiki keadaan ekonomi dan politik, seperti disebutkan diatas. Namun implementasi demokrasi di setiap negara hasilnya berbeda-beda. Seperti misalnya di India yang sudah ratusan tahun menerapkan demokrasi, tapi keadaan rakyatnya masih tetap miskin. Akan tetapi di Cina negara komunis yang sangat otoriter berhasil membangun ekonominya dengan spektakuler yaitu pertumbuhan ekonomi mencapai 9% di tengah krisis  keuangan global yang melanda di hampir semua  negara termasuk Indonesia yang terkena dampaknya. Sesungguhnya secara teoritis menurut Jeff Haynes (1997) ada 3 (tiga) macam sebutan demokrasi yaitu : pertama; demokrasi formal (formal demoracy) dalam kehidupan demokrasi ini secara formal pemilu dijalankan dengan teratur, bebas dan adil. Tidak terjadi pemaksaan oleh negara terhadap masyarakatnya. Ada kebebasan yang cukup untuk menjamin dalam pemilihan umum. Namun demokrasi formal tersebut belum menghasilkan sebagaimana yang diinginkan masyarakat yaitu; kesejahteraan masyarakat yang didukung terwujudnya stabilitas ekonomi dan politik. Model demokrasi seperti ini kemungkinan bisa dianalogikan dengan situasi dan kondisi di era reformasi saat ini yang tengah berlangsung. Kedua; demokrasi permukaan (Façade Democracy); yaitu demokrasi seperti yang tampak dari luarnya memang demokrasi, tetapi sesungguhnya sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Demokrasi model ini kemungkinan lebih tepat jika dianalogikan dengan situasi  dan kondisi demokrasi pada masa Orde Baru. Ketiga; demokrasi substantif (Substantive Democracy), demokrasi model ini memberikan ruang yang lebih luas bagi masyarakat, mungkin saja di luar mekanisme formal. Sehingga kebebasan yang dimiliki masyarakat mampu mendapatkan akses informasi yang akurat dalam pengambilan keputusan penting oleh negara atau pemerintah. Jadi demokrasi substantif tersebut memberikan keleluasaan yang lebih dinamis tidak hanya demokrasi politik saja seperti selama ini dirasakan, tapi juga  demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi.                        
Model demokrasi substantif ini merupakan konsep yang menjamin terwujudnya perbaikan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Jika demokrasi substantif bisa diwujudkan, barangkali dapat disebut sebagai demokrasi yang berkualitas. Karena implementasi demokrasi model ini mampu menyentuh kebutuhan masyarakat yang sangat mendasar yaitu nilai kebebasan yang memberikan akses di bidang ekonomi dan sosial, sehingga peningkatan taraf hidup masyarakat mampu bisa diwujudkan.            
Adapun sudut pandang kegunaan dan keuntungan dengan menjalankan prinsip demokrasi menjamin kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas. Seperti yang disampaikan oleh Robert A. Dahl (1999) bahwa; pertama; dengan demokrasi, pemerintahan dapat mencegah timbulnya otokrat yang kejam dan licik; kedua; menjamin tegaknya hak asasi bagi setiap warga negara; ketiga; memberikan jaminan terhadap kebebasan pribadi yang lebih luas; keempat; dengan demokrasi dapat membantu rakyat untuk melindungi kebutuhan dasarnya, kelima; Demokrasi juga memberikan jaminan kebebasan terhadap setiap individu warga negara untuk menentukan nasibnya sendiri; keenam; Demokrasi memberikan kesempatan menjalankan tanggung jawab moral; ketujuh; Demokrasi juga memberikan jaminan untuk membantu setiap individu warga negara untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki secara luas; kedelapan; Demokrasi juga menjunjung tinggi persamaan politik bagi setiap warga negara; kesembilan; Demokrasi juga mampu mencegah perang antara negara yang satu dengan yang lain; kesepuluh; Demokrasi juga mampu memberikan jaminan kemakmuran bagi masyarakatnya.                        
Potret demokrasi seperti yang disebutkan diatas memerlukan perjuangan dan energi yang besar. Di samping itu perubahan paradigma yang juga diikuti oleh perubahan perilaku masyarakat dalam berdemokrasi merupakan suatu keniscayaan, jika bangsa ini ingin terbebas dari belenggu ketergantungan dari pihak manapun. Perubahan paradigma dan perilaku tersebut harus selalu sinergi dengan prinsip etika dan moral politik, budaya politik serta keteladanan para elite politik. Dengan demikian model demokrasi yang berkualitas seperti disebutkan diatas, akan terwujud jika sistem dengan menggunakan sistim distrik, atau sistim proporsional dengan menggunakan sistim daftar calon berdasarkan penentuan suara terbanyak. Sebab dengan sistem tersebut pertama; masyarakat akan lebih cenderung memilih figure dan tidak memilih  simbol partai politik, kedua; sistem ini menjamin terpilihnya wakil yang berkualitas, ketiga; hubungan wakil dan rakyatnya lebih dekat, keempat; wakil rakyat lebih independent dan berorientasi pada konstituennya.

bersambung........

Friday, October 7, 2011

No Once Dreamed But Happened


haiiii........friend.....
kali ini saya akan bercerita tentang salah satu keajaiban yang terjadi dalam kehidupan saya awal bulan Oktober tahun ini. mungkin tidak semua orang akan menyangka bahwa ini benar benar terjadi dalam suatu kesempatan yang sangat langka.
cerita ini di awali pada saat saya ketemu temen kantor di depan pintu lift, dia baru keluar dari lift, sementara saya baru mau masuk, teman saya ini namanya Reni, sambil berpapasan Reni bilang, ntar ikut nyanyi ya......., saya jawab gak ahh, nama saya gak tercantum sebagai penyanyi untuk event hari Kesaktian Pancasila tahun ini......., Reni menjawab, "iya ntar dirubah surat tugasnya", kemudian Reni pun berlalu.
dua hari kemudian hari jum'at tanggal 30 September 2011, sesampainya saya di kantor, sambil jalan menuju lift ke lantai 4, ruangan saya sehari-hari, ada pesan dari Reni, latihan paduan suara di ruang rapat lantai 1, sekarang. dengan santai selepas meletakkan tas dan jaket di ruangan, saya langsung turun menuju ruang rapat lantai 1. sesampainya saya diruang rapat yang dijadikan sebagai tempat latihan paduan suara, saya cuma melihat beberapa orang yang saya kenal sebagai anggota paduan suara seangkatan saya, ada Reni, Ika, Tika, Diana, Sisma, Erigca, Catherine, fara vita, Eri dan Prieston, selebihnya orang baru yang saya kenal, bergabung dengan paduan suara baru tahun ini, ada Denok, Rizky, Didit, Aris, Andre, Iwan, Dwi, Edo, dan Teguh, Pembimbingnya masih yang dulu juga Pak Asep.
saya bergabung dengan group paduan suara dikantor sejak tahun 2009, waktu itu kami bener bener dipilih dan diseleksi, biasanya kami tampil pada tiap event upacara atau kegiatan kantor yang ceremonial, tapi tahun ini  saya tidak lagi dilibatkan biasalah sudah waktunya regenerasi, waktu upacara 17 Agustus 2011 saya tidak ikut terlibat, sudah ada generasi baru, walaupun masih dibantu oleh temen temen seangkatan saya, hasilnya tidak jauh beda dengan kami dulu.

Tim Paduan Suara KPU 2009


memperingati hari Kesaktian Pancasila tahun ini, yang jatuh pada hari sabtu, kami mulai latihan lagi demi mencapai hasil yang maksimal, malam harinya saya mendapat pesan pendek di group bahwa untuk pembukaan acara ASEAN Electoral Management Bodies Forum yang akan dilaksanakan di Istana Kepresidenan, group Paduan Suara diminta untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu nasional lainnya, rasa tak percaya saya membaca pesan pendek tersebut sembari ngomong sendiri "ahhhhh masa iya sih.....".
keesokan harinya pada saat upacara memperingati hari Kesaktian Pancasila, kami menyanyikan lagu Garuda Pancasila,dan gugur bunga, sungguh tidak disangka sangka kami mendapatkan applause dari peserta upacara, sepengalaman saya, ini kali pertama Paduan suara ini mendapat sambutan yang meriah.
selepas upacara kami berkumpul diruang rapat lantai 1, untuk briefing setelah melaksanakan tugas, dalam briefing itulah kami diberitahu bahwa pada hari senin tanggal 3 Oktober 2011 pada saat Opening Ceremony ASEAN Electoral Management Bodies Forum, Paduan suara kami diminta untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dihadapan Presiden RI dan seluruh peserta lainnya. sungguh diluar dugaan bahwa saya akan menyanyi dalam sebuah kelompok Paduan suara dihadapan orang pertama di republik ini, sungguh suatu berkah dari Yang Maha Kuasa.

Rehearsal di Istana Kepresidenan


selepas upacara pembukaan kami diperkenankan berjabat tangan dengan Bapak Presiden, sungguh suatu pengalaman yang sangat berharga, ditambah lagi dengan pujian dari Bapak Presiden bahwa kelompok paduan suara kami sangat bagus dan kompak.


acara kami selanjutnya adalah perform pada saat gala dinner peserta ASEAN Electoral Management Bodies Forum di kantor, pada malam ini kami diminta tampil dengan busana daerah.



senangnya bisa bercerita...........